THOUGHT&BOOK

Review Buku: Guru Aini, Andrea Hirata

Teman-teman, ulasan buku yang saya tulis ini rada aneh sih ya, kadang banyak spoilernya, karena saya menulisnya mengalir begitu saja. Menulis apapun yang melintas di pikiran saya. Kayaknya semua ulasan buku yang saya buat deh. Sooo, mohon maaf yaa...


 "Dalam kesepian yang getir dan menyesakkan, tersemat sesuatu yang paling didamba manusia... kemerdekaan!" Andrea Hirata.

Guru Aini adalah Prekuel dari novel Andrea Hirata sebelumnya, Orang-Orang Biasa, yang juga pernah saya ulas di blog ini. Dalam hati saya bersorak, yai! layaknya Guru Desi yang gembira, pasalnya apa? ini buku pertama dalam tahun ini yang ku baca dan selesai dalam tiga hari, 294 halaman. Seperti Orang-Orang Biasa, dalam novel ini pun sarat akan kritik sosial, khususnya di dunia pendidikan. Namun, seperti gaya Andrea Hirata yang khas, ia menuliskannya dengan bahasa yang ringan namun elok. Ceritanya mengalir, dan pasti berhasil membawa para pembaca untuk merasakan setiap emosi dalam buku ini, haru, lucu, kocak, tegang, seru, senang, bahagia, dan semuanya.

Andrea Hirata memang pencerita ulung, bahasa melayu yang indah, keseharian yang sederhana begitu lekat disekitar kita. Kegetiran hidup yang dibawakan dengan kocak, idealisme yang diuraikan dengan tak muluk-muluk kata dan terasa lebih nyata dan tentunya menginspirasi saya.

Tokoh utama di sini adalah Aini, Nuraini binti Safrudin. Dan Guru Desi Istiqomah. Nama-nama mereka sangat sederhana dan memang lebih bernafas islami karena mungkin kultur disana mayoritasnya demikian. Masyarakat Melayu wilayah Palembang. 

Kisah dimulai ketika Guru Desi bertekad ingin menjadi guru matematika dan rela bertugas di pelosok yang tak populer. Ia datang sebagai guru perantau yang sangat idealis, bukan itu saja kelebihannya, tapi ia juga sangat cerdas dan keras kepala. Tekadnya kuat namun ia sangat cantik dan masih begitu muda. 

Guru Desi dan Aini adalah guru matematika super cerdas yang galak dan murid yang sangat bebal dalam hampir semua mata pelajaran. Cerita menjadi sangat seru ketika Aini memaksakan diri mengejar cita-citanya menjadi dokter dan harus menguasai matematika, padahal nilai-nilainya selalu 1 atau 0 semenjak ia sekolah dasar hingga SMA. 

Seperti punguk merindukan bulan, namun semangat Aini kian hari kian menggelora karena melihat ayahnya yang tergeletak sakit berbulan-bulan dirumah, puskesmas dan pengobatan lainnya telah menyerah, katanya harus diobati oleh dokter ahli.

Obsesi ini menyeret Guru Desi yang hanya menganggap bahwa Aini dilanda histerik. Suatu keadaan dengan perasaan yang melonjak buncah oleh suatu sebab tertentu. Dalam hal ini, adalah Ayah Aini yang sakit. 

Berbulan-bulan Guru Desi mengajar Aini, di sekolah dan di rumah saban hari. Guru Desi sudah mengeluarkan berbagai macam jurus mengajar matematikanya hingga sudah meluapkan segala bentuk kemarahannya pada Aini, Aini yang bebal tak juga pernah berubah.

Namun, yang saya kagumi dari adalah kegigihannya dan pantang pulang sebelum di gebrak dan diusir Guru Desi. Tapi ia akan kembali esoknya lagi, ia belajar membabi buta, sembari membantu orangnya berjualan mainan anak-anak di kaki lima. Keadaan ekonomi yang sulit, tulang punggung yang sakit, dan otaknya yang bebal.

Mungkin benar, cita-cita adalah mimpi indah bagi orang miskin. Bahkan mimpi indah itu terlalu mewah. Guru Desi pun menyerah mengajar Aini, sekalipun ia adalah guru terhebat dan terbaik dengan reputasi yang sangat cemerlang. Guru Desi yang eksentrik itu pun angkat tangan menangani Aini. Bebalnya sangat hitam pekat.

Akan tetapi, mungkin juga benar, kegigihan adalah milik mereka yang kelaparan dan sakit. Aini yang miskin dan sakit sebagian hatinya melihat ayah yang tergulai lumpuh dan bicara pun ia tak mampu. Aini sungguh luar biasa bebalnya dalam berjuang. Gambarang Aini dalam novel ini sungguh sangat gigih, terlampau gigih. Sehingga Guru Desi pun tertular lebih gigih lagi.

Tak sia-sia, Guru Desi dan Aini sama-sama berjuang keras dan juga keras kepala. Akhirnya dari tahun ke tahun Aini berhasil menguasai matematika berkat pendekatan Guru Desi dengan kalkulus dan perjuangan Aini yang belajar tak kenal lelah dan tak kenal malu. Ia akhirnya lulus dalam 4 tahun menempuh SMA, sebab sempat ia tak naik kelas, dengan nilai 10 pada matematika dan menjadi siswa terbaik ketiga tahun itu di sekolahnya.

Yang saya kagumi dalam pesan ini adalah, selain tentang kegigihan, tapi juga tentang cara menemukan kecerdasan setiap orang itu berbeda. Terkadang kita terlalu cepat mengatakan seseorang payah dan tak cerdas, padahal kecerdasan itu sangat luas dan bukan saja bawaan namun dapat dibentuk dengan metode yang tepat. Pemikiran Guru Desi yang seperti ini adalah pemikiran yang seharusnya dimiliki oleh para pengajar, atau kita sebagai orang tua, orang-orang dewasa, atau setiap dari kita.

Sebetulnya ceritanya masih berlanjut sampai babak yang cukup menyedihkan, namun spoiler saya sudah terlalu banyak ya :D 

Andrea Hirata menyoroti wajah pendidikan kita, terutama di wilayah-wilayah terdalam Indonesia. Dari masalah guru honorer yang belasan tahun mengajar, guru yang bukan ahlinya, metode pengajaran yang tak tepat, biaya belajar yang mahal dan sulit di akses, hingga masalah ekonomi. 



*Source Image: Google.

No comments:

Post a Comment