THOUGHT&BOOK

Kritis Terhadap Diri Sendiri


Beberapa waktu yang lalu tiba-tiba saya terpikir untuk membolak-balik sudut pandang saya, (haha apaan ya istilahnya? merenung kali) :) Kenapa? gak tahu juga sih, mungkin dari beberapa bacaan, tontonan, atau obrolan sama suami, (dominannya sama suami kayaknya, soalnya temen diskusi), juga temen-temen kantor atau liat status-status di medsos, chit-chat sama temen-temen lama mungkin. Intinya reaksi dari apa yang dialami dari lingkungan sekitar gitu...

Mungkin karena lagi mood-nya bagus juga, pikiran jadi lebih fresh gitu :D

Emm, jadi begini... seringkali kan ya kita itu ketika ada pada posisi atau ketika melakukan sesuatu yang berbeda dari kebanyakan, (mau bilang pada batas tidak normal, tapi nanti jadinya malah generalisasi tentang sebuah kenormalan dong) ada aja tuh komentar yang agak mengganggu. Karena hal tersebut tadi berbeda. Sebetulnya kan mungkin memang wajar gitu, tiap orang kan beda-beda dan justru juga karena adanya pola yang sama tentang sudut pandang. Kebetulan nih misal kita ada di kutub yang berlawanan dari kebanyakan, maka akan timbul benturan-benturan pada dua sisi tadi.

Nah, sayangnya hal-hal semacam ini menjadi salah satu sebab kesenjangan dalam pergaulan. Kita jadi salah sangka trus menjauh dari orang-orang yang tadi beda dan menyebabkan situasi seperti itu yang mungkin bikin gak nyaman, terus ada namanya tesinggung, sakit hati, dan parahnya balas dendam dong.. heheee.

Ribet ya penggambaran saya seperti apa sih yang saya maksud, jadi misalnya gini nih... 

Saya bertanya pada diri saya sendiri, "kenapa kamu ingin punya anak? kamu siap punya anak? kamu udah merencanakan apa untuk anak kamu?" terus saya berpikir lagi beberapa alasan untuk itu, sejujur-jujurnya dan mengoreksi lagi alasan saya. "Karena malu udah beberapa tahun menikah gak punya anak? malu karena berbeda dari kebanyakan perempuan? atau memang suka sama anak kecil? atau memang seharusnya untuk memiliki keturunan karena nanti bisa ngurusin kita sewaktu tua? karena gak enak sama orang tua dan mertua, atau suami?" hemm, "iya ya, saya mikirin gak sih punya anak itu gimana dan apa yang harus saya siapin? masa melahirkan mereka untuk sesuatu yang malah nantinya akan menjadi beban buat mereka?" dan begini, "saya kebanyakan mikir yah, kalau udah takdirnya akan dikasih kapanpun Allah mau dong..."

Ya udah sih, kelar deh. Gak perlu ribet mungkin sebetulnya mikir udah kemana-mana gitu. Bukankah semua udah diatur, kenapa kita jadi protes dan nyalahin diri sendiri atau lingkungan sekitar. Kenapa harus tersinggung akan pendapat umum yang mungkin bikin kita gak nyaman. Toh, mereka bebas untuk berpendapat, itu urusan mereka dengan diri mereka sendiri. Kenapa pikiran kita harus mereka yang mengendalikan. Atau suatu kondisi, waktu dan tempat? 

Kenapa? 

Balik lagi ke diri sendiri, "eh saya mikir apaan sih? kok dibawa rumit sih? dan sebagainya dan sebagainya." Pokoknya gitulah, 

hal-hal yang tidak bersifat teknis dan sistematis yang kita terima harusnya gak berpotensi menjadi destruksi untuk diri sendiri. 

Nah, itu sih salah satu contoh masalah aja ya, dan banyak kasus-kasus serupa yang semestinya gak perlu menyita perhatian kita atau malah ya udah sih lewatin aja gitu, karena pasti sifatnya sama aja kayak masalah yang tadi saya ilustrasikan dan oleh karena pola pikir orang yang beda-beda jadi kita juga mesti punya cara pikir yang kuat. :)

Lagian kalau dipikir-pikir ya, kita akan lebih bersyukur ada di kondisi yang pada akhirnya dapat membuat kita lebih empati ketika suatu saat menemukan kondisi yang sama pada orang lain selain kita. Well, kenapa mesti tersinggung, kenapa mesti marah dan lain sebagainya. Untuk kondisi-kondisi tertentu sebetulnya emosi semacam itu bisa dikontrol kali ya, kalau kata suami saya sih, 

"kita tuh butuh jeda sebelum memberi respons atau memutuskan suatu tindakan ketika menerima tindakan."

Jeda.

Apapun yang kita pikirkan lalu menjadi perlakuan kita nanti, harusnya dapat kita kritisi terlebih dahulu pada tahap jeda ini. Hanya beberapa detik, itu sih kalau kita butuh respons yang cepet, Tapi, kalau sifatnya atau kita tahu nih hal yang akan terjadi itu repetitif, kita malah jadi bisa mengevaluasi diri kita sendiri. 

Mana yang penting mana yang tidak, baper, mood bagus apa enggak secara ilmiah ternyata bisa kita atur. 

Kayaknya buku "Seni bersikap masa bodoh" ini cocok deh, hahha... saya belum baca sih bukunya, ada punya suami sih, cuman kayak malas gitu bacanya karena lebih banyak novel yang menarik ;D

Hal ini tentunya udah dibahas habis dalam psikologi, cuman belum sempat aja cari literaturnya. Yang pasti sih, udahlah hal-hal gak penting dan itu berkaitan dengan ego mending gak usah digubris atau direspons. Apalagi potensinya menghancurkan diri sendiri, orang-orang sih sekedar komentar atau berpikir sambil lalu tentang hal-hal yang terjadi pada kita. Eh malah terkadang jadi hiburan bagi mereka ketika mereka melakukannya, sementara itu kita jadi murung merasa yang tidak-tidak, nambah lagi deh unsur-unsur penuaan dini dan sebab-musabab tidak bahagianya kita.

Jadi, jangan biarin hal-hal sekutu itu menginterupsi fokus kita yang lebih penting. Segala hal itu luas, gak sebatas pada salah satu perspektif saja dan segala kemungkinan itu terbuka. So, belajarlah santai :)

Yah, gitu deh perenungan yang menjadi penemuan saya baru-baru ini. Bahagia sekali bisa menuliskannya, meskipun penjelasannya rada-rada gak jelas kali ya. Haahaaa... 

Dan ini adalah tip saya, "Yuk, mari kritis terhadap diri sendiri?"




*)Source Image: Ria Mega Sari



2 comments:

  1. kita akan lebih bersyukur ada di kondisi yang pada akhirnya dapat membuat kita lebih empati ketika suatu saat menemukan kondisi yang sama pada orang lain selain kita.
    klimat ini nih sis yang selalu aku pegang teguh ketika aku mengalami sindrom rendah diri akibat melihat status khidupan org lain yg seolah selalu baik baik aja gitu. Pdahal d sisi lain akan ada bnyak org d luar sana yg berfkiran bgitu pada kita. Menganggap hidup kita selalu baik baik saja gtu.
    ya ya sihm sosmed emang tmpt kita berbagi hal hal baik saja, yg buruk juga jrng org mau untuk post.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul sekali mbk... Itu jg yg menjadi perenungan saya..

      Delete