THOUGHT&BOOK

July 19, 2020

Kritis Terhadap Diri Sendiri

by , in

Beberapa waktu yang lalu tiba-tiba saya terpikir untuk membolak-balik sudut pandang saya, (haha apaan ya istilahnya? merenung kali) :) Kenapa? gak tahu juga sih, mungkin dari beberapa bacaan, tontonan, atau obrolan sama suami, (dominannya sama suami kayaknya, soalnya temen diskusi), juga temen-temen kantor atau liat status-status di medsos, chit-chat sama temen-temen lama mungkin. Intinya reaksi dari apa yang dialami dari lingkungan sekitar gitu...

Mungkin karena lagi mood-nya bagus juga, pikiran jadi lebih fresh gitu :D

Emm, jadi begini... seringkali kan ya kita itu ketika ada pada posisi atau ketika melakukan sesuatu yang berbeda dari kebanyakan, (mau bilang pada batas tidak normal, tapi nanti jadinya malah generalisasi tentang sebuah kenormalan dong) ada aja tuh komentar yang agak mengganggu. Karena hal tersebut tadi berbeda. Sebetulnya kan mungkin memang wajar gitu, tiap orang kan beda-beda dan justru juga karena adanya pola yang sama tentang sudut pandang. Kebetulan nih misal kita ada di kutub yang berlawanan dari kebanyakan, maka akan timbul benturan-benturan pada dua sisi tadi.

Nah, sayangnya hal-hal semacam ini menjadi salah satu sebab kesenjangan dalam pergaulan. Kita jadi salah sangka trus menjauh dari orang-orang yang tadi beda dan menyebabkan situasi seperti itu yang mungkin bikin gak nyaman, terus ada namanya tesinggung, sakit hati, dan parahnya balas dendam dong.. heheee.

Ribet ya penggambaran saya seperti apa sih yang saya maksud, jadi misalnya gini nih... 

Saya bertanya pada diri saya sendiri, "kenapa kamu ingin punya anak? kamu siap punya anak? kamu udah merencanakan apa untuk anak kamu?" terus saya berpikir lagi beberapa alasan untuk itu, sejujur-jujurnya dan mengoreksi lagi alasan saya. "Karena malu udah beberapa tahun menikah gak punya anak? malu karena berbeda dari kebanyakan perempuan? atau memang suka sama anak kecil? atau memang seharusnya untuk memiliki keturunan karena nanti bisa ngurusin kita sewaktu tua? karena gak enak sama orang tua dan mertua, atau suami?" hemm, "iya ya, saya mikirin gak sih punya anak itu gimana dan apa yang harus saya siapin? masa melahirkan mereka untuk sesuatu yang malah nantinya akan menjadi beban buat mereka?" dan begini, "saya kebanyakan mikir yah, kalau udah takdirnya akan dikasih kapanpun Allah mau dong..."

Ya udah sih, kelar deh. Gak perlu ribet mungkin sebetulnya mikir udah kemana-mana gitu. Bukankah semua udah diatur, kenapa kita jadi protes dan nyalahin diri sendiri atau lingkungan sekitar. Kenapa harus tersinggung akan pendapat umum yang mungkin bikin kita gak nyaman. Toh, mereka bebas untuk berpendapat, itu urusan mereka dengan diri mereka sendiri. Kenapa pikiran kita harus mereka yang mengendalikan. Atau suatu kondisi, waktu dan tempat? 

Kenapa? 

Balik lagi ke diri sendiri, "eh saya mikir apaan sih? kok dibawa rumit sih? dan sebagainya dan sebagainya." Pokoknya gitulah, 

hal-hal yang tidak bersifat teknis dan sistematis yang kita terima harusnya gak berpotensi menjadi destruksi untuk diri sendiri. 

Nah, itu sih salah satu contoh masalah aja ya, dan banyak kasus-kasus serupa yang semestinya gak perlu menyita perhatian kita atau malah ya udah sih lewatin aja gitu, karena pasti sifatnya sama aja kayak masalah yang tadi saya ilustrasikan dan oleh karena pola pikir orang yang beda-beda jadi kita juga mesti punya cara pikir yang kuat. :)

Lagian kalau dipikir-pikir ya, kita akan lebih bersyukur ada di kondisi yang pada akhirnya dapat membuat kita lebih empati ketika suatu saat menemukan kondisi yang sama pada orang lain selain kita. Well, kenapa mesti tersinggung, kenapa mesti marah dan lain sebagainya. Untuk kondisi-kondisi tertentu sebetulnya emosi semacam itu bisa dikontrol kali ya, kalau kata suami saya sih, 

"kita tuh butuh jeda sebelum memberi respons atau memutuskan suatu tindakan ketika menerima tindakan."

Jeda.

Apapun yang kita pikirkan lalu menjadi perlakuan kita nanti, harusnya dapat kita kritisi terlebih dahulu pada tahap jeda ini. Hanya beberapa detik, itu sih kalau kita butuh respons yang cepet, Tapi, kalau sifatnya atau kita tahu nih hal yang akan terjadi itu repetitif, kita malah jadi bisa mengevaluasi diri kita sendiri. 

Mana yang penting mana yang tidak, baper, mood bagus apa enggak secara ilmiah ternyata bisa kita atur. 

Kayaknya buku "Seni bersikap masa bodoh" ini cocok deh, hahha... saya belum baca sih bukunya, ada punya suami sih, cuman kayak malas gitu bacanya karena lebih banyak novel yang menarik ;D

Hal ini tentunya udah dibahas habis dalam psikologi, cuman belum sempat aja cari literaturnya. Yang pasti sih, udahlah hal-hal gak penting dan itu berkaitan dengan ego mending gak usah digubris atau direspons. Apalagi potensinya menghancurkan diri sendiri, orang-orang sih sekedar komentar atau berpikir sambil lalu tentang hal-hal yang terjadi pada kita. Eh malah terkadang jadi hiburan bagi mereka ketika mereka melakukannya, sementara itu kita jadi murung merasa yang tidak-tidak, nambah lagi deh unsur-unsur penuaan dini dan sebab-musabab tidak bahagianya kita.

Jadi, jangan biarin hal-hal sekutu itu menginterupsi fokus kita yang lebih penting. Segala hal itu luas, gak sebatas pada salah satu perspektif saja dan segala kemungkinan itu terbuka. So, belajarlah santai :)

Yah, gitu deh perenungan yang menjadi penemuan saya baru-baru ini. Bahagia sekali bisa menuliskannya, meskipun penjelasannya rada-rada gak jelas kali ya. Haahaaa... 

Dan ini adalah tip saya, "Yuk, mari kritis terhadap diri sendiri?"




*)Source Image: Ria Mega Sari



July 19, 2020

Review Buku: Greta Thunberg, Tak Ada Yang Terlalu Kecil Untuk Membuat Perbedaan

by , in
"Untuk anda semua yang tak pernah memperlakukan krisis ini sebagai krisis."

Buku kecil ini adalah buku yang sangat kecil serupa buku saku dengan 59 halaman saja. Yang isinya adalah terjemahan beberapa pidato Greta Thunberg mengenai krisis iklim dari September 2018 hingga April 2019 di beberapa Negara.

Greta Thunberg, gadis kelahiran Swedia yang berusia 16 tahun ini mengidap sindrom Asperger, yaitu gangguan neurologis atau saraf yang tergolong dalam spektrum autisme. Namun kondisi ini memiliki kelebihan yang membuat pengidapnya menjadi lebih cerdas dan memahami bahasa dengan mudah, serta kesulitan dalam bersosialisasi. Keadaan khusus inilah yang membuat Greta Thunberg menjadi berbeda dari kebanyakan remaja di usianya, ia menjadi lebih kritis akan lingkungan sekitar dan lebih fokus untuk hal-hal tertentu yang membuatnya tertarik dan lebih penting secara mendalam.

Greta Thunberg sendiri mengakui bahwa, ia terinspirasi melakukan pemogokan belajar pada jam sekolah untuk menunjukan protesnya terhadap kurangnya kesadaran umum pada krisis iklim ini, dari aksi pemogokan siswa di Parkland Florida Amerika Serikat ketika terjadi penembakan pada para siswa oleh salah satu siswanya sendiri di sekolah.

Ada beberapa pidato yang menyentuh dan saya sangat terpukul dengan kata-katanya, "kita tidak pernah memperlakukan krisis ini sebagai krisis". Harus kita akui atau terkhusus untuk diri saya sendiri, kesadaran yang rendah mengenai krisis iklim yang menurut para ilmuwan hanya dalam kurun waktu kurang lebih 11 tahun kedepan dampak berantai yang berkepanjangan dari efek rumah kaca ini sudah tidak dapat di tanggulangi lagi. 

Sekitar tahun 2030, 10 tahun, 259 hari dan 10 jam dari sekarang (16 April 2019), reaksi berantai dari efek rumah kaca dan kemungkinan dari berakhirnya peradaban. (IPCC).

Dimana kita tengah berada ditengah-tengah kepunahan massal ke-enam dengan 200 spesies akan punah setiap harinya. 10.000 kali lebih cepat dari yang dianggap normal. 

"Dan saya ingin membuat anda panik"

Ya, tentu saja Greta bisa meneriaki kita dengan cara demikian, mengingat efek dari rumah kaca ini tidak hanya akan menyebabkan pemanasan global, mencairnya es di kedua kutub di bumi, meningkatnya volume air di laut, pun laut menjadi semakin asam, dan menipisnya lapisan ozon. Artinya apa? kepunahan ekosistem di bumi, di seluruh bumi. Secara keseluruhan. Mungkin sekarang kita tidak terlalu menyadarinya atau kita merasa ini hal biasa yang terjadi, dan rentang waktu bencana itu masih lama?
Kondisi yang mungkin tak pernah benar-benar nyata kita bayangkan, seperti erosi tanah subur lapisan atas, deforestasi hutan, polusi udara beracun, hilangnya serangga dan marga satwa. Sedangkan di kutub utara akan terjadi titik kritis atau titik balik karena gas metana yang kuat dilepaskan dari pencairan permafrost.

Bagaimana jika ternyata kita salah? bukankah hari-hari semakin terik dan suhu panas yang seringkali terasa membakar, mungkin sebagian dari kita hanya merasakan sebatas itu saja. Tanpa kita sadari bahwa ekosistem di laut mulai menyusut, hutan-hutan semakin habis, industri modern semakin pesat, lalu-lintas yang menggunakan bahan bakar fosil pun semakin umum. Sementara itu, limbah rumah tangga juga menjadi sumbangan yang signifikan menghasilkan gas metana. Itu semua berdampak pada terjadinya efek rumah kaca dan kembali memberi dampak yang semakin parah dari efek rumah kaca ini.

Dalam pidato-pidatonya, Greta dibantu oleh data-data dari para ilmuwan dan sesama aktivis yang bergerak dibidang yang sama. Walaupun Greta sebetulnya bergerak secara independen. 

Johan Rockstrom, seorang profesor asal Swedia menulis bahwa kita hanya memiliki 3 tahun untuk membalikan peningkatan emisi gas rumah kaca sesuai dengan Perjanjian Paris. Namun, hal itu belum terpenuhi. Yang mana seharusnya pemanasan global dijaga tetap pada kondisi dibawah 2 derajat celcius.

Swedia sendiri termasuk ke dalam 10 negara yang memiliki jejak karbon terburuk di dunia. Dan seharusnya negara-negara seperti Swedia dan Inggris mampu mengurangi emisi sebanyak 15% per tahun agar tetap menjaga pemanasan global 2 derajat celcius. 
Greta juga mengatakan negara-negara kaya harus menurunkan emisi ke titik nol dalam 6-12 tahun kedepan, sehingga negara-negara miskin dapat meningkatkan taraf hidup dan membangun infrastruktur. Karena, negara seperti India dan Nigeria yang merupakan negara miskin tak akan perduli pada krisis iklim melihat negara kaya saja pun tak perduli. Mungkin ini yang dimaksud Greta dengan aspek ekuitas.

"Kita mengorbankan biosfer, sehingga orang-orang di negara maju seperti negaraku dapat hidup mewah."

Sementara menurut IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), atau panel ilmiah tentang perubahan iklim yang terdiri dari ilmuwan di seluruh dunia,

Deskrips

pemanasan global harus turun 1.5 derajat celcius dengan mengurangi emisi karbondioksida sebesar 50% pada 2030. EU (European Unite-Uni Eropa) sendiri merencanakan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 45% dari tahun 1990-2030, namun hal tersebut menjadi sesuatu yang sangat ambisius di mata dunia. 

Sementara Greta mengatakan hal tersebut saja belum cukup, karena masa depan anak-anak perlu diperhitungkan sehingga penurunan yang seharusnya dilakukan adalah sebesar 2 kali lipatnya, 80% jika dihitung dari tahun 1990-2030.

"Semakin besar jejak karbon anda semakin besar tanggung jawab anda."

Apa yang dikatakan Greta diatas bikin saya jadi dilema mau traveling naik pesawat dan makan banyak daging. Greta sendiri sangat idealis untuk tidak menggunakan pesawat dan menjadi seorang vegan. Mungkin saya belum bisa total, tapi saya rasa wajib untuk mempetimbangkan segala bentuk tindakan dan pilihan produk atau apapun yang dapat bersinggungan dengan aspek lingkungan.
Ada lagi nih kata-kata Greta yang bikin saya berpikir, dan termenung. "Dimana selebritis, bintang film dan bintang pop yang menentang semua ketidak-adilan tidak akan membela lingkungan kita dan untuk keadilan iklim karena hal tersebut akan memberi hak pada mereka untuk terbang ke seluruh dunia mengunjungi restoran, pantai, dan regret yoga."

Yep, kira-kira begitulah yang dapat saya inget-inget dari buku kumpulan pidato Greta Thunberg ini, bukunya sih kecil aja tapi isinya membuat saya merenung dan terus merenung. Terjemahannya pun cukup asik kok oleh Penerbit Pustaka Osiris.


*)Source Image: Ria Mega Sari, Google. *)Referensi: Google.