THOUGHT&BOOK

April 05, 2020

Review Buku: The Geography Of Genius by Eric Weiner

by , in
Ah buku ini selesai terlalu lama, lebih dari 3 minggu. Ini menjadi buku ke 3 yang saya baca di tahun ini, hmm saya gak memenuhi target baca bulanan di awal tahun. Tadinya terjadwal 4 buku yang harus dibaca, tapi yah begitulah kesibukan selalu menjadi sebuah alasan yang sebetulnya kalau dicermati kembali, saya gak sibuk-sibuk amat kok. Hehehee.

Okay, balik lagi ke buku terakhir yang saya baca yaitu The Geography Of  Genius  yang ditulis oleh Eric Weiner seorang penulis berkebangsaan Amerika Serikat. Dalam buku ini ia menceritakan tentang serangkaian perjalanannya ke beberapa kota di beberapa negara yang pernah tercatat sebagai tempat-tempat yang melahirkan para Jenius yang terkemuka dalam sejarah.

Dimulai dari negara Yunani,  yaitu kota Athena kuno. Perpaduan kemewahan publik dan kemelaratan pribadi. Karena mereka sangat peduli akan kepentingan publik terutama negaranya ketimbang urusan pribadi, sampai-sampai ada ungkapan Thucydides bahwa, "orang yang tidak berminat pada masalah negara bukanlah orang yang memikirkan urusannya sendiri, melainkan orang yang tak punya kepentingan menjadi warga negara Athena."

Siapa yang tidak kenal Plato, Aristotle, dan Socrates? Hmm, bangsa Yunani mewariskan demokrasi, sains, dan filsafat. Dan juga banyak hal lainnya seperti; kontrak tertulis, koin perak dan perunggu, pajak, tulisan, sekolah, pinjaman komersial, buku panduan teknis, kapal layar besar, investasi berbagi resiko, dan sistem tuan tanah absente, juga inspirasi.

Bangsa Yunani percaya bahwa di mana kita berada akan mempengaruhi bagaimana kita berpikir. Dahulu Socrates menemukan ide selalu ketika ia berjalan kaki, seperti kebiasaan warga Athena , mereka suka berjalan kaki. Dan Homer adalah penulis pertama di dunia dan orang yang pertama pula mengalami kebuntuan ide, karyanya yaitu Odyssey.

Mereka hidup dengan sederhana dan menyederhanakan hidup, jadi gak heran tidak ada kuliner yang memanjakan di kota  ini. Mungkin ribuan tahun yang lalu Yunani terkenal akan kejeniusannya, cara mereka berpikir dan bertindak, namun kini? seperti yang di katakan oleh seorang Antropolog bernama Alfred Kroeber, bahwa kebudayaan tidak genetis. Sama halnya dengan kejeniusan bukanlah faktor genetik yang diwariskan.

Kemudian kita di ajak ke kota Hangzhou, Cina. Ada kutipan yang menarik, "yang membedakan orang genius dari orang gagal sebenarnya bukan berapa kali dia berhasil, tapi berapa kali dia memulai dari awal."

Kebiasaan orang Cina adalah minum teh, mereka begitu menikmati minuman ini seperti bagaimana mereka mendalami apa saja yang mereka tekuni. Pada abad ke-11 seorang genius bernama Shen Kuo menuliskan semua ide-idenya dalam sebuah buku catatan, layaknya Leonardo Da Vinci. Salah satu yang telah ia temukan adalah kompas magnetik. Sementara masa moderen ini, kita mengenal Jack Ma, yang dapat menyangi star up di dunia barat.

Apa yang menyebabkan mereka dikenal sebagai salah satu Negara yang memiliki kegeniusan? Salah satunya adalah habit yang ditularkan oleh kalangan atas, para penguasa-penguasa yang ada ketika itu, mereka sangat mencintai membaca, menulis, dan melukis.
Florence, kota yang dalam sejarahnya dikenal dengan peradapannya yang tinggi di daratan Eropa, melahirkan Leonardo Da Vinci, Michelangelo, Botticelli, Rosseli, Filippino Lippi, Cosimo de' Medici dan banyak lagi.

Cosimo adalah patron seni terkemuka yang memiliki bank Medici, pada masanya mungkin ia bisa disamakan dengan Bill Gates pada masa kini. Bangunan yang terkenal adalah Duomo karya Brunelleschi. Namun, kejayaan Florence masa lampau runtuh oleh materialistik dan konsumeristik. Pada akhirnya kegeniusan Florence kini hanya menjadi kenangan sejarah.

Edinburg, Scotlandia. Apa yang akan kita temui di kota ini bersama Eric? hm, Adam Smith adalah filsuf yang membawa pemikiran Kapitalisme. Dan begitu termasyur dalam bidang sastra di seluruh Eropa pada masanya.

Jadi apa kesimpulan untuk kegeniusan bangsa Skotlandia ini? mereka lebih fokus pada perbaikan.Yah, hal itu juga membuat mereka lebih kreatif dan praktis. Aturan baku bisa mereka langgar untuk tujuan yang lebih penting dan memudahkan. Misalnya saja kulkas dan sepeda, atau anestasi? Selain itu mereka juga sangat menyukai buku-buku yang berkualitas.

Kolkata, India. Negara ini adalah negara jajahan Inggris, namun mereka menyerap dan menyulap kegeniusan negara Eropa itu dengan baik, dengan situasi yang semrawut, orang-orang di Kolkata sudah terbiasa fokus di tengah-tengah distraksi. Atau "kemampuan melihat keteraturan dalam kekacauanlah yang mencirikan semua orang hebat." Karena setiap orang di sana sangat cuek dengan urusannya sendiri meskipun ia di tengah kesibukan kelompok-kelompok sosial yang lain atau keadaan hingar-bingar lainnya. Misalnya saja, seseorang bisa sangat fokus membaca atau menulis novel di tengah keriuhan pasar dan bau pipis orang yang sembarangan.

Kita akan bisa menikmati Scotlandia rasa India di sini, seperti ungkapan Eric. "Sejarah India adalah sejarah akulturasi tanpa asimilasi, merespons pengaruh asing dengan tidak menolaknya maupun menyerapnya dengan membabi buta, tapi sebagai gantinya, mereka meng-india-kannya." Misalnya saja India punya Bollywood sementara di barat punya Hollywood :D

Sebut saja, Rabindranath Tagore, seorang penyair, penulis esai, penggubah drama, dan pemenang hadiah nobel. Namun, bagi Eric masa-masa genius itu hanya menjadi pembicaraan lampau seperti karya-karya Tagore yang senantiasa wajib mereka baca.
Wina, Austria.  Di sini kita akan mengenal Beethoven, Mozart, dan Freud? Ada yang lain? banyak tentunya. Genius itu tentang selera, tentang arus budaya yang saling membaur dan menciptakan lingkungannya. Pada masa itu, Wina adalah arus budaya karena merupakan persimpangan Internasiobal, bangsa lain-lain membaur di sini. Seperti dari bangsa Slavia, Hungaria, Spayol, Italia, Prancis, dan Flemish.

Ada yang menarik, dalam buku ini seorang warga Wina menggambarkan bahwa Wina adalah seperti Hedonisme yang lembut. Pada hari jum'at diatas jam dua siang mereka tak ada yang terlihat begitu sibuk bekerja, selain itu pekerjaan atau bagaimana seseorang mendapatkan sumber nafkah bukanlah urusan orang lain. Mereka tidak akan membicarakannya, karena hal tersebut bukan hal yang akan dibicarakan. Menarik lainnya adalah, mereka tetap memainkan musik dengan indah.             

Silicon Valley, California. Yang terjadi di Silicon Valley pun sama, genius itu menular. Tahun 1971, seorang jurnalis memberi nama satu kawasan dalam jurnal Electronic News, dengan nama Silicon Valley.
Di sinilah hidup industri-industri modern, siapa yang tidak kenal Apple dan Google? pemuda-pemuda kreatif dan inovatif tumbuh di sini, sejauh ini mereka begitu mapan dan menjadi spotlight bagi dunia teknologi masa kini.
***

Nah, gitu deh sekilas yang bisa saya review dari buku yang lumayan tebal ini. Dua bulan lalu saya bacanya, jadi banyak yang terlupa. Tulisan-tulisan Eric selalu menarik, perjalanannya yang selalu berisi dan membawa wawasan baru bagi pembaca, dengan bahasa yang sangat ringan dan mudah dipahami. Ia memiliki cara bercerita yang santai dan mengalir, saya merasa seperti mengikuti perjalananya kemana saja :)

See yaa...


*)Source Image: Doc.Pribadi&Google.
April 02, 2020

PLOT

by , in
"Plot adalah peta bagi seorang penulis ketika mengembara dalam belantara kata-kata." Mengutip dari seorang DEE Lestari, salah satu penulis terbaik yang dimiliki Indonesia. 

Plot yang saya maksudkan di sini adalah plot cerita dalam karya sastra. Dimana, plot atau alur cerita adalah serangkaian peristiwa yang runtut sesuai hubungan sebab-akibat. Dalam hal ini, rangkaian plot dapat disusun secara detil atau secara garis besar saja, seperti kata DEE, 70% kita dapat menulis cerita sesuai plot yang telah disusun, selanjutnya 30% adalah kejutan yang dapat ditemukan ketika proses menulis .

Penulis besar seperti DEE saja sangat membutuhkan Plot atau menyusun kerangka terlebih dahulu ketika akan menulis cerita yang cukup panjang, untuk menghindari tersesat ketika di tengah kepenulisan atau writer's block secara teknis. Lagi-lagi saya mengutip apa yang DEE katakan, dan sebetulnya saya menulis ini karena terinspirasi dari obrolan DEE ketika live di akun Instagramnya bersama Mizan tadi sore.

Ada yang cukup menggelitik saya tentang plot yang berantakan, apa itu plot yang berantakan? dan kenapa ya bisa begitu? 

Em, mungkin kira-kira begini, apa saja yang dapat dan seharusnya ada di dalam plot? barangkali fakta-fakta dari peristiwa yang akan ada dalam cerita, bagaimana cerita itu dimulai. Secara bertahap, apa saja yang harus kita tulis di dalam cerita nantinya, sudah tertuang di dalam plot tadi. 

Pendek kata, semua bahan untuk seluruh cerita yang akan kita garap sudah ada dalam plot cerita. Baik alurnya akan mundur maupun sebaliknya atau alur campuran dari keduanya, yang paling penting adalah hubungan sebab-akibat dari awal kepenulisan hingga akhir.

Bagaimana membuka cerita, mengenalkan para tokoh, meletakkan latar tempat dan waktu, menampilkan konflik hingga menggiring konflik tersebut, dan menyelesaikan konflik. 
Lalu bagaimana plot bisa dikatakan berantakan? gak tahu juga sih ya, saya belum pernah membaca cerita dengan plot yang membuat saya bingung dan merasa seperti ada yang gak beres. Tapi, khawatirnya justru ketika saya menulis, saya akan menulis dengan plot yang berantakan.

Oke, saya tarik kesimpulan, suatu plot cerita dikatakan berantakan ketika hubungan sebab-akibat terputus di beberapa bagian cerita. Atau ada beberapa konflik yang tidak saling terhubung dan membuat kebingungan bagi pembaca, ini yang mana konflik utama sih? atau, kok gak nyambung?

Pembaca tidak mendapatkan apa-apa dari yang ingin disampaikan oleh penulis, akhirnya sama-sama pada tersesat kan? ya penulis apalagi pembaca.

Ada 3 unsur penting dalam menyusun plot cerita, yaitu:

1. Tahap Awal

Umumnya pada tahap ini penulis akan mengenalkan berbagai latar cerita dan pengenalan tokoh. Memuat informasi-informasi penting yang mungkin saja akan menjadi garis hubung untuk penceritaan selanjutnya.

2. Tahap Tengah

Di sini penulis akan menyuguhkan konflik dan klimaks yang tentunya sangat berkaitan. Pada bagian ini pula akan menjadi semacam nyawa bagi cerita, di mana cerita akan digali sedalam-dalamnya melalui konflik yang terjadi dan tokoh-tokoh yang terlibat. 

Penulis akan menulis lebih panjang pada tahan ini.

3. Tahap Akhir
Bagaimana penulis akan mengakhiri konflik cerita, di mana penulis bisa membuat kejutan-kejutan untuk pembaca. Kepuasan pembaca akan di uji pada bagaimana seorang penulis menyelesaikan konflik yang ia ciptakan. Pada tahap ini, penulis harus menyusun dengan baik plotnya, karena ini akan menjadi acuan penting untuk menghindari kebablasan ketika menulis akhir cerita.

Ya, seperti itulah unsur klasik dalam penyusunan plot yang masih relevan hingga kini. Dan sebetulnya ada beberapa macam bentuk alur cerita, tapi lain kali ya saya bahas. :)




*)Source image: Pinterest&RiaMegaSariIllustration, Referensi: Google&Jurnal http://digilib.unila.ac.id/14686/7/II.pdf