Ini sebenarnya buku terakhir yang saya baca di tahun 2019, buku #11. Setidaknya saya berhasil menyelesaikan tantangan dari diri saya sendiri untuk membaca tuntas buku yang gak boleh kurang dari 10 buku. Dan dengan harapan di tahun ini, intensitas membacanya saya lebih meningkat ya :) Saya penasaran juga sih ada teman-teman di dunia perbukuan mampu membaca 70-100an buku dalam setahun. Waw gak sih?
Dari artikel-artikel yang saya baca mengenai budaya membaca di beberapa negara maju, setidaknya dalam seminggu kita dapat menyelesaikan membaca 1 buku. Tapi, balik lagi pada ketebalan buku ya. Jika di rata-rata setiap orang dalam suatu negara setidaknya membaca diatas 10 buku dalam setahun.
Dari artikel-artikel yang saya baca mengenai budaya membaca di beberapa negara maju, setidaknya dalam seminggu kita dapat menyelesaikan membaca 1 buku. Tapi, balik lagi pada ketebalan buku ya. Jika di rata-rata setiap orang dalam suatu negara setidaknya membaca diatas 10 buku dalam setahun.
Hari ini saya baru bisa menyelesaikan ulasan buku ini, menarik! dan saya jatuh cinta pada setting waktu yang diambil oleh Iksaka Banu. Yaitu pada masa-masa kolonial, baik sebelum maupun setelah masa penjajahan Jepang.
13 cerita pendek yang dirangkum dalam buku yang memiliki 153 halaman ini sangat ringan untuk dibaca, sehari pun sebenarnya akan tuntas. Tetapi saya sempat mengalami kebosanan ketika telah menyelesaikan dua judul cerita di beberapa halaman pertama. Kenapa? Karena ending dari cerita membuat saya agak merasa 'kok begini saja?' tapi, saya tidak mengatakan buku ini mengecewakan saya lho ya...
Ekspektasi saya tentang ending sebuah cerita selalu tinggi, terlebih pada cerita pendek. Dimana struktur kepenulisan cerita pendek itu lebih rumit dan tentu penulis harus memiliki kepiawaian yang tinggi dalam menyusun kata-kata. Barangkali itu yang membuat saya menaruh harapan besar pada cerita yang ditulis oleh Iksaka Banu sebagai peraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2014.
Oke, saya akan menggambarkan apa yang saya maksud di atas, dari latar waktu dan tempat saya akui ide-ide Iksaka Banu sangat keren, dialog dan diksi yang ia ramu juga membuat saya larut dalam cerita. Namun, saya berharap konflik dalam cerita akan berakhir dengan meninggalkan kesan yang mendalam, seperti paragraf-paragraf awal dan ketika memasuki area konflik dalam cerita, ini sungguh wow menurut saya dan saya berharap setiap cerita dalam buku ini dapat berkembang menjadi sebuah novel keren layaknya novel-novel sejarah Pramoedya Ananta Toer.
Sebetulnya, ada beberapa ending cerita-cerita Iksaka Banu yang sulit di tebak. Alur yang ia buat cukup menarik dan mengalir alami. Kita dengan mudah memahami pergolakan dalam cerita.
Tapi, ini mungkin bukan cerita yang endingnya dibuat rumit dengan kritikan sosial yang telak. Bagi saya ini adalah paparan sejarah yang ditulis lebih renyah dalam bentuk fiksi, ada banyak peristiwa yang bahkan tidak kita ketahui dari buku-buku sejarah yang pernah kita pelajari selama ini. Ini adalah hal yang sangat berharga, wawasan yang perlu kita kembangkan dan memperjelasnya lagi.
Inilah yang sangat menarik dari cerita-cerita Iksaka Banu, ia membentuk tokoh-tokoh protagonisnya dari pihak Belanda atau keturunan Belanda pada waktu itu. Ada pesan-pesan khusus yang ingin penulis sampaikan, ia ingin mengurutkan periode-periode sejarah yang terlompati.
Iksana Banu ingin mengangkat anomali dalam sejarah yang tidak kita ketahui, bahwa sejarah tidaklah hanya sekedar dinyatakan hitam atau putih, di pihak manapun kita berdiri itu bukanlah pihak yang mutlak benar.
Jangan kaget ya, ketika nanti membaca tentang para laskar pribumi yang juga sebenarnya kejam terhadap sesama pribumi. Atau orang Belanda yang memimpin pemberontakan terhadap kolonial dengan mengorganisir pribumi, nyai yang berselingkuh, atau Untung Suropati yang menjadi kepala rombongan perambok Belanda-Belanda Kaya. Ada juga pertikaian orang-orang Cina dengan Belanda, kekejaman yang silih berganti-ganti di pihak manapun.
Orang-orang Belanda yang miskin di negaranya tiba-tiba menjadi kaya dan berkuasa setelah datang ke Hindia Belanda, dimana budaya kejam dan serakah mereka pun tumbuh.
Oh ya, ada beberapa kritikan dari pembaca untuk Iksaka Banu tentang sudut pandangnya dalam cerita. Menyoal keberpihakannya terhadap kolonial Belanda terutama dalam cerita-ceritanya. Namun menurut saya sih anggapan itu keliru dan terlalu berburuk sangka. Seperti yang saya tulis di atas, apa yang sebenarnya ingin Iksaka Banu sampaikan pada seluruh pembaca, justru ia memberikan gambaran yang paling objektif dari literasi-literasi sejarah yang pernah ada.
Mau tidak mau kita harus mengakui, banyak hal buruk yang lahir dari penindasan. Kemiskinan yang membuat kita terkadang tak berpikir tentang masa depan atau tentang kehormatan, bukan semata karena kebodohan saja.
Hmm, dari buku ini saya jadi ingin tahu lebih banyak tentang Tuanku Imam Bonjol. Beliau digambarkan sangat menarik dalam buku ini.
Selamat memenuhi target baca di tahun 2020 :)
*)Image&Referensi: Google search & wawancara Iksaka Banu on Youtube.
Ekspektasi saya tentang ending sebuah cerita selalu tinggi, terlebih pada cerita pendek. Dimana struktur kepenulisan cerita pendek itu lebih rumit dan tentu penulis harus memiliki kepiawaian yang tinggi dalam menyusun kata-kata. Barangkali itu yang membuat saya menaruh harapan besar pada cerita yang ditulis oleh Iksaka Banu sebagai peraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2014.
Oke, saya akan menggambarkan apa yang saya maksud di atas, dari latar waktu dan tempat saya akui ide-ide Iksaka Banu sangat keren, dialog dan diksi yang ia ramu juga membuat saya larut dalam cerita. Namun, saya berharap konflik dalam cerita akan berakhir dengan meninggalkan kesan yang mendalam, seperti paragraf-paragraf awal dan ketika memasuki area konflik dalam cerita, ini sungguh wow menurut saya dan saya berharap setiap cerita dalam buku ini dapat berkembang menjadi sebuah novel keren layaknya novel-novel sejarah Pramoedya Ananta Toer.
Sebetulnya, ada beberapa ending cerita-cerita Iksaka Banu yang sulit di tebak. Alur yang ia buat cukup menarik dan mengalir alami. Kita dengan mudah memahami pergolakan dalam cerita.
Tapi, ini mungkin bukan cerita yang endingnya dibuat rumit dengan kritikan sosial yang telak. Bagi saya ini adalah paparan sejarah yang ditulis lebih renyah dalam bentuk fiksi, ada banyak peristiwa yang bahkan tidak kita ketahui dari buku-buku sejarah yang pernah kita pelajari selama ini. Ini adalah hal yang sangat berharga, wawasan yang perlu kita kembangkan dan memperjelasnya lagi.
Inilah yang sangat menarik dari cerita-cerita Iksaka Banu, ia membentuk tokoh-tokoh protagonisnya dari pihak Belanda atau keturunan Belanda pada waktu itu. Ada pesan-pesan khusus yang ingin penulis sampaikan, ia ingin mengurutkan periode-periode sejarah yang terlompati.
Iksana Banu ingin mengangkat anomali dalam sejarah yang tidak kita ketahui, bahwa sejarah tidaklah hanya sekedar dinyatakan hitam atau putih, di pihak manapun kita berdiri itu bukanlah pihak yang mutlak benar.
Jangan kaget ya, ketika nanti membaca tentang para laskar pribumi yang juga sebenarnya kejam terhadap sesama pribumi. Atau orang Belanda yang memimpin pemberontakan terhadap kolonial dengan mengorganisir pribumi, nyai yang berselingkuh, atau Untung Suropati yang menjadi kepala rombongan perambok Belanda-Belanda Kaya. Ada juga pertikaian orang-orang Cina dengan Belanda, kekejaman yang silih berganti-ganti di pihak manapun.
Orang-orang Belanda yang miskin di negaranya tiba-tiba menjadi kaya dan berkuasa setelah datang ke Hindia Belanda, dimana budaya kejam dan serakah mereka pun tumbuh.
Oh ya, ada beberapa kritikan dari pembaca untuk Iksaka Banu tentang sudut pandangnya dalam cerita. Menyoal keberpihakannya terhadap kolonial Belanda terutama dalam cerita-ceritanya. Namun menurut saya sih anggapan itu keliru dan terlalu berburuk sangka. Seperti yang saya tulis di atas, apa yang sebenarnya ingin Iksaka Banu sampaikan pada seluruh pembaca, justru ia memberikan gambaran yang paling objektif dari literasi-literasi sejarah yang pernah ada.
Mau tidak mau kita harus mengakui, banyak hal buruk yang lahir dari penindasan. Kemiskinan yang membuat kita terkadang tak berpikir tentang masa depan atau tentang kehormatan, bukan semata karena kebodohan saja.
Hmm, dari buku ini saya jadi ingin tahu lebih banyak tentang Tuanku Imam Bonjol. Beliau digambarkan sangat menarik dalam buku ini.
Selamat memenuhi target baca di tahun 2020 :)
*)Image&Referensi: Google search & wawancara Iksaka Banu on Youtube.
Kak berarti ini non fiksi kah? Baca ulasan kak ria jadi terbawa suasana hahaha
ReplyDeletenon fiksi neng...
Delete