THOUGHT&BOOK

January 21, 2020

Review Buku: Dua Dini Hari, oleh Chandra Bientang

by , in
Apa yang kamu bayangkan ketika mengetahui pembunuhan terhadap anak-anak yang mereka sebut 'anak jalanan,' yang mereka lakukan di sebelah kamar kos mu? "Ternyata selama ini aku bertetangga dengan mayat?"

Beneran deh novel ini bikin saya teringat-ingat untuk beberapa hari, dan sampe kebawa mimpi dong. Gak sampe mengguncang banget sih, cuman kejutan-kejutan dalam cerita ini bikin saya sakit hati. Dan kayaknya saya gak cocok deh sama akhir ceritanya, karena bagi saya akhir sebuah cerita yang sempurna adalah kisah yang memberi harapan dan semangat baru pada pembaca. Namun, kisah dalam novel ini sungguh pesimis. Bukan hal yang buruk sebenarnya, karena jenis akhir cerita kan macem-macem ya, cuman saya-nya aja kurang berkenan. Hehehee

Karena keburaman dari novel ini, saya berhenti dulu untuk baca fiksi dan beralih ke non fiksi. Karena 2 buku yang ada di waiting list saya selanjutnya juga tentang misteri dan penderitaan hidup seorang anak kecil. Nanti yah saya ceritain lagi. Karena gak mau shock-nya beruntun haha, bagi saya setiap cerita ada unsur-unsur yang melekat di alam bawah sadar saya dan seringkali mempengaruhi sudut pandang atau cara saya bersikap. Hihi, tapi gak seserius itu kok :)

Tapi, suami saya masih menunda ijin ngebaca The Catcher In The Rye, JD Salinger. Gegara suka kebawa mimpi dan hal-hal absurd lainnya :D. Berlebihan ya sayanya.

Chandra Bientang. Penulis novel ini, dia adalah salah satu pemenang penulis emerging di UWRF 2019 kemarin, jadi itulah yang membuat saya tertarik dan penasaran 'gimana sih tulisan si mbak Bientang ini?" Tapi, pada even itu Chandra Bientang menulis sebuah cerita pendek atau beberapa cerita pendek ya, lupa sih. Yang pasti bukan karya yang ia terbitkan ini. Saya pun menyusuri jejak karya si mbak Bientang, yang ternyata juga seorang penulis di Wattpad, wuhuuu :) Walaupun novelnya bukan terbitan Gramedia, tapi sudah beredar di toko  buku Gramedia dan juga sudah ada dalam bentuk ebook-nya.

Novel ini gak tebal sih, cuman sekitar 200-an lebih halaman aja. Karena cukup seru, sehari pun sebetulnya sudah selesai. Ngomong-ngomong, ini adalah novel pertama Chandra Bientang, dengan gendre Urban Thriller dia berhasil dapat beberapa penghargaan dari penerbit atau dari media online. Kalau gak salah sih begitu.

Dua Dini Hari, kepenulisannya cukup bagus untuk penulis pemula dengan novel pertamanya yang ia terbitkan. Ide ceritanya juga berbeda, dengan setting yang cukup dekat dengan kehidupan kita sekarang, deskripsinya menarik, mudah untuk di visualisasikan. Namun, ada juga yang saya sulit ngebayanginnya gimana.
Mungkin, kalau misal editornya agak ketat dan jeli, novel ini bisa lebih digali lagi. Kayak misal siapa sih dalang utama di balik rencana keji pembunuhan, kalau pun di sini kita dapat menebak-nebak, cuman harusnya lebih gamblang dari itu dengan alasan yang lebih politis mungkin. Kalau untuk ketertiban kota, rasanya terlalu sederhana aja gitu kenapa pembunuhan harus dilakukan. Atau barangkali deskripsinya yang terlalu ringan.

Intinya menurut saya, novel ini bisa bercerita lebih jauh lagi dan mengguncang. Denger-denger sih waktunya cukup singkat untuk menyelesaikan tulisan ini, mungkin itu salah satu sebab kenapa novel ini di beberapa bagian seperti terburu-buru.

Selamat ya mbak Chandra Bientang! Karyanya cukup bagus dan menambah variasi novel-novel karya penulis Indonesia. :)

Pilihan yang bagus untuk di baca, dan kamu akan kaget terus bertanya-tanya "Kenapa?"


*)source image: Google.






January 12, 2020

Review Buku: Kisah Klasik dari Louisa May Alcott, #LittleWomen

by , in
Yihaa! ini buku #1 yang saya selesaikan di awal tahun ini. 2020. Semoga pertanda baik ya, untuk menyelesaikan lebih banyak lagi buku-buku dalam tahun ini :)
LITTLE WOMEN.

Saya jatuh cinta ketika hanya baru mendengar obrolan tentang buku ini di podcast Coming Home with Leila S Chudori. Sebuah acara bincang buku dengan para penulis atau pun seorang tokoh publik yang gemar membaca, gratis di spotify setiap hari rabu. Tahun 2020 adalah tahun kedua dari acara ini, yang di gagas oleh penulis Indonesia terkemuka yaitu mbak Leila S Chudori.

Wah, jadi nge-review podcast-nya Coming Home deh. Karena memang berawal dari acara tadi saya jadi penasaran bagaimana sih kepenulisan Louisa May Alcott, yang katanya mbak Petty Fatimah deskripsinya sangat dekat dengan imajinasi kita. Bagian seperti ini adalah favorit saya banget.
Film Little Women tahun 1994
Lalu, ketika beberapa halaman pertama saya mulai terbawa hingga bab-bab selanjutnya. Tapi, buku yang saya baca adalah Little Women terjemahan dan berbeda dari filmnya sendiri di tahun 1994 yang dimainkan oleh Winona Ryder. Kenapa berbeda? karena versi film ini, kisah hidup ke empat gadis March dibuat tidak hanya berdasarkan dari novel Little Women, namun di bundling dengan novel lanjutannya yaitu Good Wives, dimana kehidupan mereka masing-masing telah menginjak dewasa dan masalah hidup yang semakin rumit. Oh ya, saya lagi PO loh untuk Good Wives terjemahan Gramedia yang akan terbit besok, 13 Januuari 2020 dengan cover yang lebih menarik.  :))

Louisa May Alcott adalah penulis Amerika yang hidup di tahun-tahun menuju pertengahan tahun 18-an. Tepatnya lupa, hehehee... dan buku ini pertama kali terbit sekitar tahun 1860-an, lagi-lagi lupa sih tepatnya. Any way, buku ini adalah novel klasik yang wajib di baca. Versi yang saya baca sih ketebalannya sekitar 382 halaman. Yakin deh kalau gak banyak kerjaan, sehari semalem bisa selesai nih. Karena kehidupan mereka dalam novel ini digambarkan yang asik banget gitu. Katanya juga sih, ini adalah semacam autobiografi Louisa May Alcott yang di gambarkan dalam karakter Jo.
Hm, kita masuk ke bagian ceritanya gimana sih?

Jadi ketika itu, di Pennsylvania Amerika hiduplah sebuah keluarga sederhana. Mereka di tinggal sang ayah ke medan perang. Dan di dalam rumah mereka yang hangat dan religius, Mrs. March memiliki 4 orang putri yang masing-masing memiliki daya tarik. Dari Meg 16 tahun, yang cantik dan dewasa namun memiliki impian menjadi lady yang terhormat sementara ia sendiri harus bekerja sebagai pengasuh dan guru pribadi di sebuah rumah kelas menengah-atas. Lalu, Jo 15 tahun yang sangat suka membaca dan menulis, ia seperti anak tomboi  kalau istilah kita sekarang. Di bawahnya lagi, ada Beth yang lembut dan paling pemalu diantara saudari-saudarinya, ia sangat menyukai musik dan piawai memainkan piano, usianya 13 tahun. Terakhir adalah Amy, berusia 12 tahun, ia agak cerewet seorang gadis kecil yang selalu ingin tampak dewasa, satu hal yang menarik darinya adalah bakat seni lukisnya.

Hidup dalam segala keterbatasan karena mereka jatuh miskin, tidak membuat keluarga ini lantas terpuruk dan berlaku tidak menyenangkan bagi sekitarnya. Mereka masing-masing sangat giat bekerja, dan menjadi gadis-gadis yang patuh pada ibunya. Meskipun di tinggal sang ayah bertahun-tahun dengan harapan ayah mereka akan kembali suatu saat nanti.

Ada banyak keseruan kehidupan remaja di sini, tapi juga kesedihan-kesedihan setiap keluarga. Namun, tokoh utamanya memiliki akhir yang indah dalam novel Little Women ini.:) Walaupun ceritanya masih akan berlanjut panjang.

Di sini banyak ditulis nilai-nilai moral tanpa menggurui, dari segala kejadian dan tingkah masing-masing tokoh dalam novel ini. Yang paling saya suka adalah bagaimana melatih diri untuk senantiasa rendah hati dan bekerja keras. Bahwa bekerja dengan tekun, itu baik untuk diri dan sesekali bermain. Keseimbangan.

"Kesombongan selalu mendahului kejatuhan."

Lantas, bagaimana dengan gaya tulisan Louisa May Alcott sendiri? seperti yang mbak Petty Fatimah ceritakan, ia memiliki kemampuan deskriptif yang sangat menarik, dimana kita bisa membayangkan jendela bersalju di depan rumahnya, ruang makan tempat mereka berkumpul, kamar anak-anak dan kamar Mrs March, atau bagaimana keindahan rumah Laurie yang indah. Laurie sendiri adalah sahabat mereka, tetangga yang baik dan ramah.

Louisa May Alcott tidak menulis hanya terpusat pada kehidupan satu keluarga ini, ada beberapa keluarga yang ia tuliskan dan banyak tokoh yang terlibat dalam novel ini. Masing-masing memiliki peran yang jelas dan berhenti di saat yang tepat, jadi kita gak akan bertanya "eh si ini kok gak jelas gitu munculnya dan perannya apaan?" nah saya sering banger tuh kayak gitu, hahahh... suka ngerasa bingung ketika membaca satu buku yang macem-macem tokohnya, tau-tau ilang gak jelas perannya di situ apaan, apakah cuman buat manjang-manjangin cerita dan pengisi bab yang pada akhirnya malah menyisakan tanda tanya yang gak asik di akhir cerita, Hahahhaaa... serius banget buuu :D

Okeeiii, novel ini saya rekomendasiin banget deh buat teman-teman pembaca, tinggal suka apa gak aja sih dengan genre klasik begini. Hehehee... Dan, bukan cuman novel Little Women ini saja yang wajib banget dibaca, tapi juga penulisnya Louisa May Alcott. Dia jadi salah satu penulis keren favorit saya deh. :)

Oh iya nih, sebetulnya udah ada lagi nih di adaptasi ke film yang tayang Desember 2019 kemaren di Amerika, katanya sih di Indonesia baru Februari nanti. Selamat menunggu :)
Film Little Women tahun 2019



*)Source Imange: Pinterest, Referensi: Coming Home With Leila S Chudori

January 11, 2020

Laut Biru, Pasir Putih, dan Debur Ombak Nusa Penida

by , in
Apa yang bisa saya ceritakan tentang Nusa Penida?
Hmm, saya begitu terpukau dengan debur ombak yang pecah menghantam tebing-tebing terjal yang angkuh. Buih memercik ke wajah dan membuat saya terpekik kagum dan setengah ngeri.

Well, intronya puitis apa lebay ya? Haha.

Tapi beneran deh, pengalaman ke pantai-pantai bertebing di Nusa Penida meninggalkan kesan yang magis bagi saya. Bagaimana intensitas ombaknya yang seakan-akan ingin menghancurkan tebing-tebing yang perawan, bagaimana lautnya yang biru lalu toska lalu pasirnya yang putih, juga teriknya matahari Nusa Penida yang membakar.  Saya jadi item banget ketika pulang dari sana, yah ya gak tanggung-tanggung saya total banget berjemurnya gak pake sunblock.

Hm, bukan saja soal pantai, ombak, pasir, laut, dan tebingnya, Nusa Penida benar-benar 80% masih alami. Saya katakan begitu, karena rata-rata kawasan wisata yang sempat saya kunjungi adalah kawasan yang sebetulnya tidak cukup aman jika kita tidak berhati-hati. Jalan menuju lokasinya pun adalah jalan-jalan yang menanjak mengitari perbukitan dan berkelok-kelok, indah memang. Sangat menakjubkan buat saya, melihat rumah-rumah penduduk di pedesaannya, diboncengi motor bersama suami yang sepanjang perjalanannya adalah laut dan nelayan, perahu-perahu cadik penuh warna, belum lagi tiba-tiba pemandangan berubah menjadi pepohonan di dataran-dataran tingginya.

Lagi-lagi, tidak hanya itu. 

Saya pun melihat keterbatasan di beberapa desa yang kami lalui untuk mengunjungi lokasi wisata. Mungkin cukup signifikan beberapa lokasi wisatawan seperti resort-resort yang tersebar, terhadap peningkatan perekonomian masyarakat Nusa Penida. Namun, saya pikir belum cukup merata, mungkin masih ada wilayah-wilayah perekonomian penduduk yang belum tersentuh atau dalam aspek-aspek yang lain.

Tapi Pulau ini sangat cantik, serpihan tanah dewata, Bali. Saya ingin kembali suatu hari, untuk menikmati suasana dengan lebih santai lagi di sini. Karena dalam waktu satu malam dan dua hari menjadi terlalu tergesa-gesa untuk saya yang pada dasarnya suka menikmati suasana tempat dan waktu. Untuk menyatu dengan getarannya :)

Perjalanan Menuju Nusa Penida

Dari Bandara APT Pranoto Samarinda langsung ke Denpasar. Setibanya di Bali, saya dan suami ingin segera istirahat sebelum menyusun  rencana selanjutnya selama liburan kali ini. Ingin mencoba sendiri petualangan-petualangan kecil selama perjalanan, kami pun tak mencoba mandiri keluar bandara untuk mencari makan siang yang lebih murah dan kendaraan yang juga lebih murah.

Keluar bandara cukup jauh di tengah terik siang itu, kami tiba sekitar jam 11an siang lah. Ada beberapa makanan ramah muslim dan cukup terjangkau di luar area bandara Ngurah Rai yang sangat luas.

Setelahnya kami mencari-cari kendaraan online setelah tidak mendapatkan motor sewaan sehari untuk dibawa ke Sanur. Dengan alasan cukup jauh, bapak yang punya motor tidak setuju untuk menjemput motor di Sanur, ia minta diantar kembali ke area mangkalnya di seputaran bandara. Kan repot ya, lagian agak rugi juga sih karena motor gak bisa dibawa ke Nusa Penida karena di sana pun sudah ada penyewaan khusus.
Setelah mendapatkan layanan mobil online, kami pun minta diantar langsung ke hotel. Tapi, dengan keluguan sepasang suami istri ini, kami mengiyakan saja untuk diantar ke pelabuhan membeli tiket fast boat untuk besok pagi. Kata si bapak yang ramah ini, khawatir tidak dapat tiket jika tidak booking dulu sehari sebelumnya. Baiklah, tapi setelah muter-muter ternyata tiketnya agak mahal Rp 150,000/orang, tidak sesuai dengan review para pejalan lainnya. Jadi kami meminta untuk kembali ke hotel saja karena udah capek banget. Dan, perasaan saya dan suami udah kurang enak nih, sebetulnya dari pertama dia ajak muter-muter sih. Cuman karena si pak supir ramah banget jadi gak tega menolak. Setibanya di hotel saya pun bertanya berapa ongkos pengantarannya, walaupun di aplikasi sudah tertera, tapi saya yakin dia meminta lebih karena sudah mengantar kami muter-muter. Dan begitulah itu terjadi :D

Setibanya di hotel, ternyata kami harus upgrade kamar karena saya salah pesan jenis hotel. Ya sudahlah, over budget di kendaraan tadi dan hotel ini.

Kami akhirnya mendapatkan tiket fast boat dari Sanur ke Nusa Penida dengan harga Rp.80.000/orang, setelah mendapat info dari seorang kawan dan nemulah tiket onlinenya di google. :)

Keesokan paginya, sekitar jam 7an kami pun berangkat mengarungi lautan menuju pulau Nusa Penida. Perjalanan sekitar 45 menit. Di Nusa Penida kami pun menyewa motor untuk dua hari dengan Rp. 70.000/hari. Tenang aja, di pelabuhan udah banyak yang nyewain motor dan ketika mengembalikannya pun gak usah repot-repot karena bisa langsung tinggal aja di pelabuhan dengan kunci menggantung. Aman.

Setelah sarapan dan ceck in di cottage yang ternyata cukup menyenangkan dengan pelayanan yang ramah. Kemudian kami pun bersiap menuju pantai-pantai di daerah Nusa Penida barat, yang sempat kami kunjungi hanya beberapa pantai saja yaitu,:
  • Kelingking beach
Perjalanan cukup jauh dengan jalan yang berkelok-kelok membelah perbukitan dan dataran tinggi, ada beberapa titik jalan yang agak sulit karena belum di aspal. Tapi sepanjang perjalanan sungguh indah, aku menikmati sepanjang jalan yang di kiri-kanannya tumbuh pepohonan. Aku merasa ada dimanaaa gitu, meskipun tampaknya jalanan ini berbahaya jika tidak berhati-hati. Di Nusa Penida sangat panas, dengar-dengar sudah 9 bulan tidak hujan, padahal di Samarinda dan sekitarnya sudah kerapkali hujan deras.
Dalam perjalanan di daerah barat ini, kami lebih banyak disuguhi pemandangan permukiman penduduk yang hidup di tengah hutan dataran tinggi. Rumah-rumah mereka cukup rapi yang terbuat dari batako dan khas rumah-rumah orang Bali yang berdiri dengan beberapa bagian bangunan rumah. Rumah di sini cukup berjarak dan tampak sepi. 
Nah, akhirnya tiba di lokasi wisata yang indah ini. Sungguh mendebarkan ketika melihat warna biru di kejauhan di bawah sana, namun juga terasa dekat. Pasir putihnya sungguh menggoda dengan gradasi warna laut bak batu-batu mulia entah apa namanya :D Tebing-tebing tinggi mengitari, ada tangga menurun yang sangat curam dan menurut saya tidak cukup aman. Lutut saya langsung menjadi lemas, ketika baru menuruni beberapa anak tangga yang tersusun dari papan dan pegangannya makin ke bawah makin tidak jelas, mungkin hanya tiang tangga yang amat berjarak dan tali dengan tebing di kiri-kanan. Entahlah, cukup mengerikan bagi saya, tapi banyak aja sih wisatawan yang berlalu-lalang turun-naik. Dengan panas yang begitu membakar, saya gak membayangkan bagaimana nanti naik kembali setelah saya nekat turun (misalnya), betapa melelahkan. Bersyukur lulut saya sudah gontai tak bisa melangkah lebih turun lagi, dan suami mendukung hal itu.

Namun, di seputaran atas tebing ini saja banyak spot-spot berfoto yang indah, dengan latar belakang bongkahan batu yang ditutupi kehijauan menjorok ke laut dan tampak seperti kelingking raksasa.

  • Broken Beach
Perjalanan menuju pantai ini dari kawasan pantai yang pertama kami kunjungi tidak terlalu jauh. Di sini pemandangannya juga sangat waw, dengan debur ombak yang perkasa menantang tebing-tebing kokoh. Broken beach sendiri adalah tebing yang bolong dan di tengahnya membentuk ceruk pantai seperti pantai yang tersembunyi. Tapi, sepertinya tidak ada jalan turun ke sana, jadi hanya melihat-lihat dari atas dan berpoto dengan latar tebing yang bolong.
Ketika itu ombaknya sangat tinggi, agak menuju sore ombak semakin menjadi sampai-sampai ombak naik menghantam tebing yang menjadi tempat wisatawan berkumpul menikmati pemandangan ke arah pantai lepas di atas tebing yang bolong. Sempat beberapa turis terkena limpahan air yang kuat itu, sampai-sampai satu orang turis wanita terjatuh dan beruntung segera di tarik bangun dan menepi ke daratan yang lebih tinggi.

Beruntung saya dan suami sudah menyingkir dari tempat itu, awalnya saya juga berdiri dan mengambil foto dari arah itu bahkan sempat duduk-duduk di rimbunan semaknya. 

Saya menyaksikan ombak yang menyambar-nyambar itu tepat di hadapan saya yang sedang berada di seberang di belakang broken beach. Karena masih penasaran melihat-lihat pantai tersembunyi di bawah sana di dalam lebing yang berlubang dari atas. Sungguh luas.

Kami tidak sempat menikmati sunset di Crystal Bay karena terlalu sore hampir senja, padahal kami sudah di pintu masuknya. Bukan tanpa sengaja kami tiba di sana, melainkan karena tersesat ketika menuju pulang dari Broken beach, seperti biasa handphone kami mati dan jalannya ternyata rumit terlalu banyak simpangan dan kami lupa menuju titik awal kami berbelok. Hahaha. 

Karena gak ingin pulang kemaleman, dan betapa mengerikan membayangkannya dengan medan jalan yang sering menyesatkan kami. Hehehe... 

Oh ya, kami juga tidak bisa masuk ke Angel Billabong, yaitu sebuah ceruk di tepi laut yang menjebak air di dalamnya sehingga membentuk kolam raksasa yang indah dengan pemandangan debur ombak (kalau lagi bersahabat).

  • Diamond Beach
Hari kedua kami meneruskan perjalanan mengunjungi pantai-pantai yang ada di daerah timur Nusa Penida. Kami sudah ceck out dan menitipkan barang di penginapan setelah sarapan nasi goreng dan secangkir kopi juga teh hangat untuk suami.

Ternyata dari penginapan kami terus saja ke timur, maka akan menemukan banyak warung-warung makan dan kios-kios serta pasar. Ini pusat keramaian Nusa Penida rupanya, sementara kemarin kami hampir putus asa mencari warung makan. 

Perjalanan di Sisi timur ini lebih santai di bandingkan perjalanan sehari sebelumnya, meskipun jarak tempuh lebih jauh namun waktu yang digunakan sepertinya lebih singkat sih. Mungkin karena jalan yang tidak berkelok-kelok mengitari perbukitan, tapi jalannya yang menyusuri garis pantai dan hanya tidak terlalu jauh jalan yang menyusuri dataran tinggi. 
Pemandangannya lagi-lagi sungguh menakjubkan. Diamond beach, seperti namanya layaknya seperti pecahan permata di last biru toska, batu yang berwarna putih di seputaran pantai, mungkin pecahan tebing dulunya. Saya dan suami kali ini berhasil menuruni pantai dan menikmati pasir putih dan buih-buih ombak di garis pantai yang indah.
Undakan tangga dari pahatan batu tebing in tidak lebih curam jika dibandingkan dengan yang di kelingking beach kemarin. Walaupun pegangannya cuman tali tambang tapi cukup merasa aman karena di sisi kanan menempel dengan tebing. Cukup ngos-ngosan ketika kembali dengan panas yang masih membakar, padahal belum terlalu siang loh. 

  • Raja Lima, Pulau Seribu dan Rumah Pohon
Sebenarnya ini masih satu kawasan saja, tapi tetap saja kita harus berkendara untuk menuju pintu masuk dan parkiran yang berbeda jalan. Ada simpang jalan di titik awal ketika masuk lokasi Diamond beach tadi, mau yang mana duluan sih gak jadi masalah. 
Tapi pilihan kami ternyata tepat untuk bersusah-Susah terlebih dahulu ketika menuruni tebing di Diamond beach, karena jalan menuju Raja Lima lebih waw karena panas dan terbuka. Tidak terlalu curam walaupun cukup menanjak tapi lumayan jauh.

Sebelum melihat  Pulau Seribu dan berfoto-foto di Raja Lima, kita akan menemui rumah pohon. Yaitu pondokan yang dibuat di atas pohon, bayar log kalau mau foot di saja. Dan tidak terlalu menarik bagi saya. 


Saya lebih terpukau dengan hamparan batu-batu raksasa di sepanjang teluk ini, memang persis seperti Raja Ampat. Pulau Seribu sendiri adalah spot foto dengan latar bongkahan-bongkahan batu Raja Lima dan patung sesembahan khas orang Bali.

Memang tidak ada debur ombak yang seolah mengamuk, namun pasir putih, laut turquois, bongkahan batu raksasa yang Putih susu, memberi keindahan dan pengalaman menakjubkan yang berbeda dan berkesan dalam.
Dan lelah yang mengguyur sepanjang menanjak kembali dengan beberapa kali istirahat akhirnya terbayar tuntas dengan air kelapa muda yang kami nikmati d spot terbaik dengan embusan angin yang meyejukkan. Badan kembali segar, dan rasanya belum puas berada di Nusa Penida karena masih banyak tempat-tempat yang harus di jelajahi.

Sayang sekali, jam 3 sore kami harus berangkat kembali ke Sanur dan meneruskan perjalanan ke Ubud. Fast boat yang kami gunakan masih sama seperti kemarin dan pesannya juga online, walaupun kami pesannya baru tadi pagi, jadi kami dikenakan charge khusus. Saya lupa sih berapa, kalau gak salah sih 10.000 per tiketnya.
pemandangan sepanjang pantai di kawasan timur.

Ohya, jangan kaget ya jika nanti di pantai Sanur, boat tidak berlabuh di dermaga tapi di tepian pantai saja. Kita akan berjalan sendiri hingga ke pantai, jadi siap-siap basah kalau tiba-tiba gelombang datang. Tapi tenang orang kapalnya baik-baik, kita tidak akan kehilangan sandal karena ada tempat khusus yang disediain dan tas-tas kita yang agak merepotkan akan dibantu oleh mereka. Waktu keberangkatan juga begitu sih. Jadi siap-siap saja dengan pakaian yang cukup ringkas.
pemandangan sepanjang pantai di kawasan timur

Hem, selain itu apa ya? oh ini, biaya masuk kawasan wisata pantai-pantai di sini cukup murah dengan hanya membayar biaya parkir 5000 untuk kendaraan bermotor. Dan air kelapa muda segar yang kami nikmati hanya 25.000. ")

Saya menyelesaikan tulisan ini terlalu lama, jadi banyak bagian-bagian yang telah terlupakan. konsep-konsep yang ingin saya tuangkan juga udah ambyar dari ingatan. Hahahaa, pelajaran buat perjalanan selanjutnya, setidaknya ditulis dulu kali ya di jurnal pribadi biar poin-poin pentingnya gak kelupaan :)

See yaaa.
January 05, 2020

Review Buku: Semua Untuk Hindia oleh Iksaka Banu

by , in
 Ini sebenarnya buku terakhir yang saya baca di tahun 2019, buku #11. Setidaknya saya berhasil menyelesaikan tantangan dari diri saya sendiri untuk membaca tuntas buku yang gak boleh kurang dari 10 buku. Dan dengan harapan di tahun ini, intensitas membacanya saya lebih meningkat ya :) Saya penasaran juga sih ada teman-teman di dunia perbukuan mampu membaca 70-100an buku dalam setahun. Waw gak sih?

Dari artikel-artikel yang saya baca mengenai budaya membaca di beberapa negara maju, setidaknya dalam seminggu kita dapat menyelesaikan membaca 1 buku. Tapi, balik lagi pada ketebalan buku ya. Jika di rata-rata setiap orang dalam suatu negara setidaknya membaca diatas 10 buku dalam setahun. 

Hari ini saya baru bisa menyelesaikan ulasan buku ini, menarik! dan saya jatuh cinta pada setting waktu yang diambil oleh Iksaka Banu. Yaitu pada masa-masa kolonial, baik sebelum maupun setelah masa penjajahan Jepang. 

13 cerita pendek yang dirangkum dalam buku yang memiliki 153 halaman ini sangat ringan untuk dibaca, sehari pun sebenarnya akan tuntas. Tetapi saya sempat mengalami kebosanan ketika telah menyelesaikan dua judul cerita di beberapa halaman pertama. Kenapa? Karena ending dari cerita membuat saya agak merasa 'kok begini saja?' tapi, saya tidak mengatakan buku ini mengecewakan saya lho ya...

Ekspektasi saya tentang ending sebuah cerita selalu tinggi, terlebih pada cerita pendek. Dimana struktur kepenulisan cerita pendek itu lebih rumit dan tentu penulis harus memiliki kepiawaian yang tinggi dalam menyusun kata-kata. Barangkali itu yang membuat saya menaruh harapan besar pada cerita yang ditulis oleh Iksaka Banu sebagai peraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2014.
Oke, saya akan menggambarkan apa yang saya maksud di atas, dari latar waktu dan tempat saya akui ide-ide Iksaka Banu sangat keren, dialog dan diksi yang ia ramu juga membuat saya larut dalam cerita. Namun, saya berharap konflik dalam cerita akan berakhir dengan meninggalkan kesan yang mendalam, seperti paragraf-paragraf awal dan ketika memasuki area konflik dalam cerita, ini sungguh wow menurut saya dan saya berharap setiap cerita dalam buku ini dapat berkembang menjadi sebuah novel keren layaknya novel-novel sejarah Pramoedya Ananta Toer.

Sebetulnya, ada beberapa ending cerita-cerita Iksaka Banu yang sulit di tebak. Alur yang ia buat cukup menarik dan mengalir alami. Kita dengan mudah memahami pergolakan dalam cerita.

Tapi, ini mungkin bukan cerita yang endingnya dibuat rumit dengan kritikan sosial yang telak. Bagi saya ini adalah paparan sejarah yang ditulis lebih renyah dalam bentuk fiksi, ada banyak peristiwa yang bahkan tidak kita ketahui dari buku-buku sejarah yang pernah kita pelajari selama ini. Ini adalah hal yang sangat berharga, wawasan yang perlu kita kembangkan dan memperjelasnya lagi.

Inilah yang sangat menarik dari cerita-cerita Iksaka Banu, ia membentuk tokoh-tokoh protagonisnya dari pihak Belanda atau keturunan Belanda pada waktu itu. Ada pesan-pesan khusus yang ingin penulis sampaikan, ia ingin mengurutkan periode-periode sejarah yang terlompati.

Iksana Banu ingin mengangkat anomali dalam sejarah yang tidak kita ketahui, bahwa sejarah tidaklah hanya sekedar dinyatakan hitam atau putih, di pihak manapun kita berdiri itu bukanlah pihak yang mutlak benar.
Jangan kaget ya, ketika nanti membaca tentang para laskar pribumi yang juga sebenarnya kejam terhadap sesama pribumi. Atau orang Belanda yang memimpin pemberontakan terhadap kolonial dengan mengorganisir pribumi, nyai yang berselingkuh, atau Untung Suropati yang menjadi kepala rombongan perambok Belanda-Belanda Kaya. Ada juga pertikaian orang-orang Cina dengan Belanda, kekejaman yang silih berganti-ganti di pihak manapun.

Orang-orang Belanda yang miskin di negaranya tiba-tiba menjadi kaya dan berkuasa setelah datang ke Hindia Belanda, dimana budaya kejam dan serakah mereka pun tumbuh.

Oh ya, ada beberapa kritikan dari pembaca untuk Iksaka Banu tentang sudut pandangnya dalam cerita. Menyoal keberpihakannya terhadap kolonial Belanda terutama dalam cerita-ceritanya. Namun menurut saya sih anggapan itu keliru dan terlalu berburuk sangka. Seperti yang saya tulis di atas, apa yang sebenarnya ingin Iksaka Banu sampaikan pada seluruh pembaca, justru ia memberikan gambaran yang paling objektif dari literasi-literasi sejarah yang pernah ada.

Mau tidak mau kita harus mengakui, banyak hal buruk yang lahir dari penindasan. Kemiskinan yang membuat kita terkadang tak berpikir tentang masa depan atau tentang kehormatan, bukan semata karena kebodohan saja.

Hmm, dari buku ini saya jadi ingin tahu lebih banyak tentang Tuanku Imam Bonjol. Beliau digambarkan sangat menarik dalam buku ini.
Selamat memenuhi target baca di tahun 2020 :)


*)Image&Referensi: Google search & wawancara Iksaka Banu on Youtube.