THOUGHT&BOOK

Review Buku: Aruna dan Lidahnya, oleh Laksmi Pamundjak

Informasi tentang Laksmi Pamundjak sudah wara-wiri saya dengar dan saya serap, sebenarnya sudah sejak lama saya mengenal penulis yang satu ini, sejak salah satu karya terbaiknya diterbitkan. AMBA. Tapi, justru dari karyanya yang lebih ringan ini, Aruna dan Lidahnya, saya jadi sangat apresiatif terhadap gaya penulisan Laksmi Pamundjak. Ia memiliki gaya deskripsi yang sangat bagus, dengan kalimat-kalimat berbobot namun renyah.

Dulu sewaktu saya membaca Amba, saya merasa sedikit agak bosan karena saya membanding-bandingkan gaya tulisannya dengan tulisan Ayu Utami dan DEE. Mungkin karena mereka sebagai sesama penulis wanita, saya kira cukup adil jika patokannya adalah gaya penulisan Ayu Utami dan DEE. Jadi singkat cerita, saya tidak menyelesaikan membaca AMBA.

Dan, lagi-lagi karena rasa penasaran, dimana nama Laksmi Pamundjak semakin dikenal dan menjadi salah satu penulis wanita di Indonesia yang berpengaruh, di saat nama Ayu Utami dan DEE mulai sunyi atau menurut saya, terlalu monoton akhir-akhir ini. Walaupun sebetulnya, merekapun melahirkan inovasi-inovasi mereka sendiri.

Laksmi Pamundjak disebut-sebut telah berhasil mengukuhkan namanya di dunia sastra internasional, AMBA menjadi salah satu novel yang terpenting di Frankfurt Book Fair 2015,  dengan judul Alle Farben Rot ini juga mendapatkan penghargaan sastra LiBeraturpreis 2016 dari Lembaga Kesusastraan asal Jerman Litprom.

Selanjutnya pada tahun 2018, penerbit Jerman Ullstein Verlag kembali menerbitkan karya Laksmi Pamundjak yaitu Herbstkind, merupakan lanjutan dari novel AMBA. Tidak cukup sampai di sini saja, rupanya Penguin Random House SEA menerbitkannya pula ke dalam bahasa Inggris dengan judul Fall Baby pada Oktober 2019 kemarin yang diluncurkan di  Ubud Writers and Readers Festival.

Dengar-dengar sih, versi Indonesia akan terbit akhir Desember ini loh dengan judul Srikandi. Uniknya, Srikandi adalah novel terjemahan dari tulisan aslinya yang berbahasa Inggris, Fall Baby.

Well, balik lagi ke topik yang sebenarnya mau saya bahas, gimana sih isi novel Aruna dan Lidahnya ini? Hmm, menurutnya saya ini novel yang bikin saya pengen makan melulu, makan terus menikmati detil-detil dari makanan tersebut. Wow, ini buku resep masakan apa ya? Hahaha, yah memang sih Laksmi Pamundjak juga menulis tentang kuliner bahkan sudah menerbitkan beberapa buku tentang masakan, yang saya kurang tau sih bukunya bagaimana dan judul-judulnya apa. 

Mungkin bagi yang sudah nonton versi filmnya, yang dimainkan oleh Dian Sastro dengan judul yang sama, bakal merasakan apa yang saya maksud. Tapi, kayaknya kurang dapet sih filmnya dibandingin sama bukunya. Menurutnya saya novelnya itu lebih berat ketimbang filmnya, lebih bernas dan lebih bikin saya mencintai makanan. Lepas dari persoalan akting pemainnya yang udah pada keren banget, filmnya tu kayak kisah yang dipaksain untuk selesai dan mungkin untuk kepentingan yang lebih dramatis dan lebih familiarlah untuk tontonan, jadi film ini dibuat 70% berbeda dari bukunya. Yess, itu pendapat saya sih.

Jadi, novel ini menceritakan tentang tiga sekawan yang menyukai makanan dan menginterpretasikan sedemikian rupa menurut mereka, sehingga makanan atau minuman itu gak "sekedar hanya" tapi, lebih dari itu... kayak ada seninya itu, sama kayak misal kita menyukai lukisan dari aliran apa, siapa penulisnya, dan apa-apa saja komponen yang ikut membentuk lukisan dan kisahnya.

Sebetulnya mungkin, Laksmi Pamundjak ingin menulis tentang dunia politik dan korupsi pada saat itu, diawal-awal isu virus flu burung merebak di Indonesia dan diiringi dengan pengadaan peralatan-peralatan kesehatan. Tapi novel ini tidak seberat tema yang sebenarnya ingin diangkat, melalui perjalanan kuliner yang mereka lakukan novel ini menjadi mudah dan 'nagih' untuk dibaca. Jadi ya, kisah tentang politiknya memang kurang greget dan datar aja gitu. 

Kesan saya justru lebih kepada keindahan cerita-cerita tiap daerah yang mereka kunjungi, baik itu makanan atau beberapa sejarah yang ada di daerah-daerah tersebut. Saya jadi bisa merasakan berada dalam perjalanan mereka dari satu kota ke kota lainnya. Dan saya jadi kepingin banget ke Singkawang pas acara Cap Go Meh.
Karakter masing-masing tokoh utamanya pun sangat menarik, ada Aruna seorang ahli wabah yang menjadi konsultan rekanan pemerintah, Aruna sangat cuek namun cerdas. Ada Nadezhda yang cantik jelita si kritikus makanan untuk sebuah media terkenal, ada Bono seorang chef yang setia pada teman-temannya. Lalu ada Farish yang menjadi rekan kerja Aruna, seorang pria yang penuh percaya diri.

Lalu, bagaimana dengan gaya penulisan Laksmi Pamundjak sendiri? wow! keren menurut saya. Saya suka dialog-dialognya yang sangat cerdas, deskripsinya juga menarik. Tidak boros kata-kata dengan makna yang penuh. Pemilihan kata? wow standarnya tinggi, Laksmi Pamundjak memang pantas menjadi penulis yang berkelas. 

Meskipun, banyak kritik-kritik yang ia selipkan dalam tulisannya yang terlihat ringan ini. Dari soal agama dan nilai-nilai moral pada kehidupan sosial masyarakat kita. Tapi gak masalah kan ya, tentu kita bisa memfilter mana yang perlu atau, yaudah sih... itu kan katanya dia.

So, layaknya gak sih buku-buku Laksmi Pamundjak kita miliki? yup, tentu saja! bagi para pembaca yang menyukai karya sastra, Laksmi Pamundjak adalah penulis yang akan tercatat dalam sejarah sastra Indonesia. Kita wajib mengenal karya-karyanya.

Yang belum baca AMBA, yuk mulai dibaca-baca (termasuk saya) hihihii, sebelum lanjut sebentar lagi sama sekuelnya Srikandi. Can't wait deh :)



*)SourceImage:Google *)Referensi:Google&Podcast coming home with leilachudori.

4 comments:

  1. Duh jadi penasaran sama tulisan Laksmi

    ReplyDelete
  2. uh bawaannya jadi lapar terus eheheh... yuk mba mampir juga ke blog aku :)

    ReplyDelete