THOUGHT&BOOK

December 30, 2019

Review Buku: BAJU BULAN Seuntai Puisi Pilihan oleh Joko Pinurbo

by , in
Penyair Kecil
: NN

Penyair kecil itu sangat sibuk merangkai kata-kata
dan dengan berbagai cara menyusunnya menjadi
sebuah rumah yang akan dipersembahkan kepada ibunya.
"Kita belum punya rumah kan, Bu? Nah, Ibu tidur saja
di dalam rumah buatanku. Aku akan berjaga di teras
semalaman dan semuanya akan aman-aman saja."

Ketika kau bangun di subuh yang hening itu, kau tertawa
melihat penyair kecilmu tertidur kedinginan
di teras rumahnya, ditunggui Donald dan Bobo,
pengawal-pengawalnya yang setia.

(2002)

Pada Matanya

Pada matanya
aku melihat
kerlap-kerlip
cahaya lampu
kota kecil
seperti bisikan hati
yang lewat memanggil

(2012)
Dua puisi ini adalah favorit saya, sederhana namun menyampaikan banyak hal dalam imajinasi saya. Tentang masa kecil dan cita-cita sederhana, bagaimana caranya mengungkapkan cinta pada orang tua. Lalu ketulusan hati, seseorang yang berarti bagi kita. 

Ah, tapi sebetulnya saya gak tau banyak tentang puisi atau sebangsanya. Seperti apa struktur dan polanya. Tapi bagi saya, Joko Pinurbo mewakili kekagumana saya terhadap kata-kata dan bermain kata, hahhaa..

Bayangkan, Jokpin mampu mengangkat hal-hal sederhana untuk diberi nilai lebih dan menyimpan makna yang dalam. Dari sesuatu yang sederhana namun mengubah sudut pandang kita, ia menyampaikan segala kegelisahannya dalam apa yang ia jangkau.

Dalam buku kumpulan puisi pilihan ini, Jokpin seringkali membawa-bawa cerita tentang celana dan seorang ayah-anak. Terkadang ada puisinya yang membuat saya ingin menangis, penggambarannya begitu dekat, saya seolah berdiri di tepi bukit melihat seorang anak memapah ayahnya yang sudah renta tiba-tiba tak lagi bernafas di antara kunang-kunang yang selalu mereka kenang sebagai masa-masa manis.
Jokpin sungguh berbeda dengan Sapardi Djoko Damono atau Widji Tukul, penyair-penyair favorit saya. SDD yang lembut romantis menyejukkan, atau Widji Tukul yang penuh semangat dalam jiwa pemberontaknya. Jokpin berbeda, ia memprotes dengan jenaka. Ia menilai seolah-olah bermain ular tangga. 
Saya janji ke diri saya sendiri untuk membaca karya-karya Jokpin yang lainnya. Entah mengapa, kebersahajaan Joko Pinurbo mengingatkan saya pada Widji Tukul, semoga suatu hari saya sempat mengetahui akhir dari cerita hilangnya salah satu pejuang reformasi ini.


*)Source Imange: Google.




December 30, 2019

Review Buku: Rahasia Selma - Linda Christanty

by , in
Tangga-tangga kayu melapuk, lantai kamar yang terbuat dari tripleks makin melengkung ke bawah. Atap selalu bocor di musim hujan.... Tiang lampu di ujung jalan terlihat bengkok, kurus, dan karatan... cahayanya yang suram. Ia menuntun mereka melalui tepi sungai limbah ini.... Di salah satu kakus umum yang terletak di pinggir sungai itu, ia berjongkok sambil merenungi air keruh mengalir... Sebuah bangku.... empat kaki yang mulai keropos digerogoti rayap... 

"Sang istri mengukur harkat suaminya dari jumlah uang yang dibawa pulang, makin sedikit andil pihak laki-laki dalam uang belanja, makin rendah mutu pelayanan wanita. Bila andil tadi mencapai titik nol persen, maka rumah bukan lagi tempat yang nyaman untuk pulang."
  Kupu-Kupu Merah Jambu.

11 cerita pendek yang ada di dalam buku ini gak akan mengecewakan untuk dibaca. Dan yang meninggalkan kesan mendalam buat saya adalah cerita ini, kupu-kupu merah jambu. Rahasia Selma pertama kali di terbitkan tahun 2017, tulisan seorang Linda Christanty. 

Ia sangat pandai mengaduk-aduk emosi pembaca (khususnya saya) melalui cerita-cerita pendek yang ia tulis. Akhir dari cerita yang tak terduga dan sepanjang cerita yang akan membuat kita berpikir dan berempati. Kisah dalam buku ini penuh dengan pesan moral yang amat dekat dengan kehidupan masyarakat kita, walaupun Linda Christanty selalu mengambil sudut penceritaan dari sesuatu yang tragis dan miris, mempertimbangkan nilai paling rendah dalam tatanan sosial, dan menyuguhkan gambaran yang gak pernah kita pikirkan bahwa manusia bisa sebegitu dangkalnya.

Well, ini memang bacaan yang bisa dibilang cukup berat atau bisa juga sangat sederhana namun dengan makna yang sangat dalam. Kenapa saya bilang bacaan ini cukup berat? karena bagi saya, butuh konsentrasi penuh untuk menyelesaikan membaca buku ini, kalimat-kalimatnya dapat menjebak jika sedikit saja kita lengah. Lalu, kenapa bisa sangat sederhana dengan makna yang dalam? Yup, karena cerita didalamnya sangat dekat dengan kehidupan sekitar kita, walaupun kita gak pernah membayangkan jauh di dalamnya ada sesuatu yang kelam.
Misalnya saja, dalam cerita Kupu-Kupu Merah Jambu. Cerita tentang seorang waria yang membunuh pria yang membayarnya,  ia hidup di lingkungan yang sangat kumuh dan terbuang. Latar belakang keluarga yang berantakan, persis seperti yang muncul di berita-berita kriminal Tribun Online.

Atau Rahasia Selma sendiri? Cerita seorang anak perempuan yang kesepian sebetulnya, ia tumbuh dalam keluarga yang penuh rahasia abu-abu. Kedua orang tua yang berperilaku tak senonoh, guru olah raga yang mesum, dan banyak hal yang terjadi padanya yang membuat saya prihatin. Betapa banyak predator diantara sesama manusia.

Saya jadi mengerti setelah merenungkan kembali buku ini melalui ulasan ini, bahwa kenapa kumpulan cerita pendek di sini diberi judul 'Rahasia Selma' mengambil salah satu judul cerita pendek di dalamnya. Selma yang tanpa sengaja memiliki rahasia, dan rahasia-rahasia buram di baliknya. Buku ini, secara keseluruhan cerita-cerita di dalamnya, memiliki satu warna yang sama. Sisi gelap dalam diri manusia. Rahasia yang tak pernah ingin mereka buat dengan sendirinya menjadi bagian dari jati diri dan kehidupan mereka.

Saya mendengar suara yang serupa di dalam buku ini, suara-suara dari lorong yang tersembunyi. Ada keprihatinan yang dalam ingin Linda Christanty ungkapkan melalui cerita-cerita pendeknya ini.

Ya, barangkali begitu. Namun buku ini sangat layak dibaca yang akan memperkaya imajinasi dan jiwa kritis kita. Sayangnya saya belum membaca karya Linta Christanty yang lainnya, barangkali buku ini akan mengantarkan saya untuk membaca buku-bukunya yang lain :)
Oh ya, mengenai Linda Christanty sendiri, ia adalah salah seorang penulis dan wartawan kelahiran Bangka Belitung yang sudah mendapatkan berbagai penghargaan dalam ajang kepenulisan baik dalam maupun luar negeri. Rahasia Selma sendiri pernah mendapatkan penghargaan Khatulistiwa Literary Award tahun 2010.


*)SourceImage: Google.


December 29, 2019

Review Buku: Aruna dan Lidahnya, oleh Laksmi Pamundjak

by , in
Informasi tentang Laksmi Pamundjak sudah wara-wiri saya dengar dan saya serap, sebenarnya sudah sejak lama saya mengenal penulis yang satu ini, sejak salah satu karya terbaiknya diterbitkan. AMBA. Tapi, justru dari karyanya yang lebih ringan ini, Aruna dan Lidahnya, saya jadi sangat apresiatif terhadap gaya penulisan Laksmi Pamundjak. Ia memiliki gaya deskripsi yang sangat bagus, dengan kalimat-kalimat berbobot namun renyah.

Dulu sewaktu saya membaca Amba, saya merasa sedikit agak bosan karena saya membanding-bandingkan gaya tulisannya dengan tulisan Ayu Utami dan DEE. Mungkin karena mereka sebagai sesama penulis wanita, saya kira cukup adil jika patokannya adalah gaya penulisan Ayu Utami dan DEE. Jadi singkat cerita, saya tidak menyelesaikan membaca AMBA.

Dan, lagi-lagi karena rasa penasaran, dimana nama Laksmi Pamundjak semakin dikenal dan menjadi salah satu penulis wanita di Indonesia yang berpengaruh, di saat nama Ayu Utami dan DEE mulai sunyi atau menurut saya, terlalu monoton akhir-akhir ini. Walaupun sebetulnya, merekapun melahirkan inovasi-inovasi mereka sendiri.

Laksmi Pamundjak disebut-sebut telah berhasil mengukuhkan namanya di dunia sastra internasional, AMBA menjadi salah satu novel yang terpenting di Frankfurt Book Fair 2015,  dengan judul Alle Farben Rot ini juga mendapatkan penghargaan sastra LiBeraturpreis 2016 dari Lembaga Kesusastraan asal Jerman Litprom.

Selanjutnya pada tahun 2018, penerbit Jerman Ullstein Verlag kembali menerbitkan karya Laksmi Pamundjak yaitu Herbstkind, merupakan lanjutan dari novel AMBA. Tidak cukup sampai di sini saja, rupanya Penguin Random House SEA menerbitkannya pula ke dalam bahasa Inggris dengan judul Fall Baby pada Oktober 2019 kemarin yang diluncurkan di  Ubud Writers and Readers Festival.

Dengar-dengar sih, versi Indonesia akan terbit akhir Desember ini loh dengan judul Srikandi. Uniknya, Srikandi adalah novel terjemahan dari tulisan aslinya yang berbahasa Inggris, Fall Baby.

Well, balik lagi ke topik yang sebenarnya mau saya bahas, gimana sih isi novel Aruna dan Lidahnya ini? Hmm, menurutnya saya ini novel yang bikin saya pengen makan melulu, makan terus menikmati detil-detil dari makanan tersebut. Wow, ini buku resep masakan apa ya? Hahaha, yah memang sih Laksmi Pamundjak juga menulis tentang kuliner bahkan sudah menerbitkan beberapa buku tentang masakan, yang saya kurang tau sih bukunya bagaimana dan judul-judulnya apa. 

Mungkin bagi yang sudah nonton versi filmnya, yang dimainkan oleh Dian Sastro dengan judul yang sama, bakal merasakan apa yang saya maksud. Tapi, kayaknya kurang dapet sih filmnya dibandingin sama bukunya. Menurutnya saya novelnya itu lebih berat ketimbang filmnya, lebih bernas dan lebih bikin saya mencintai makanan. Lepas dari persoalan akting pemainnya yang udah pada keren banget, filmnya tu kayak kisah yang dipaksain untuk selesai dan mungkin untuk kepentingan yang lebih dramatis dan lebih familiarlah untuk tontonan, jadi film ini dibuat 70% berbeda dari bukunya. Yess, itu pendapat saya sih.

Jadi, novel ini menceritakan tentang tiga sekawan yang menyukai makanan dan menginterpretasikan sedemikian rupa menurut mereka, sehingga makanan atau minuman itu gak "sekedar hanya" tapi, lebih dari itu... kayak ada seninya itu, sama kayak misal kita menyukai lukisan dari aliran apa, siapa penulisnya, dan apa-apa saja komponen yang ikut membentuk lukisan dan kisahnya.

Sebetulnya mungkin, Laksmi Pamundjak ingin menulis tentang dunia politik dan korupsi pada saat itu, diawal-awal isu virus flu burung merebak di Indonesia dan diiringi dengan pengadaan peralatan-peralatan kesehatan. Tapi novel ini tidak seberat tema yang sebenarnya ingin diangkat, melalui perjalanan kuliner yang mereka lakukan novel ini menjadi mudah dan 'nagih' untuk dibaca. Jadi ya, kisah tentang politiknya memang kurang greget dan datar aja gitu. 

Kesan saya justru lebih kepada keindahan cerita-cerita tiap daerah yang mereka kunjungi, baik itu makanan atau beberapa sejarah yang ada di daerah-daerah tersebut. Saya jadi bisa merasakan berada dalam perjalanan mereka dari satu kota ke kota lainnya. Dan saya jadi kepingin banget ke Singkawang pas acara Cap Go Meh.
Karakter masing-masing tokoh utamanya pun sangat menarik, ada Aruna seorang ahli wabah yang menjadi konsultan rekanan pemerintah, Aruna sangat cuek namun cerdas. Ada Nadezhda yang cantik jelita si kritikus makanan untuk sebuah media terkenal, ada Bono seorang chef yang setia pada teman-temannya. Lalu ada Farish yang menjadi rekan kerja Aruna, seorang pria yang penuh percaya diri.

Lalu, bagaimana dengan gaya penulisan Laksmi Pamundjak sendiri? wow! keren menurut saya. Saya suka dialog-dialognya yang sangat cerdas, deskripsinya juga menarik. Tidak boros kata-kata dengan makna yang penuh. Pemilihan kata? wow standarnya tinggi, Laksmi Pamundjak memang pantas menjadi penulis yang berkelas. 

Meskipun, banyak kritik-kritik yang ia selipkan dalam tulisannya yang terlihat ringan ini. Dari soal agama dan nilai-nilai moral pada kehidupan sosial masyarakat kita. Tapi gak masalah kan ya, tentu kita bisa memfilter mana yang perlu atau, yaudah sih... itu kan katanya dia.

So, layaknya gak sih buku-buku Laksmi Pamundjak kita miliki? yup, tentu saja! bagi para pembaca yang menyukai karya sastra, Laksmi Pamundjak adalah penulis yang akan tercatat dalam sejarah sastra Indonesia. Kita wajib mengenal karya-karyanya.

Yang belum baca AMBA, yuk mulai dibaca-baca (termasuk saya) hihihii, sebelum lanjut sebentar lagi sama sekuelnya Srikandi. Can't wait deh :)



*)SourceImage:Google *)Referensi:Google&Podcast coming home with leilachudori.

December 18, 2019

Review Buku: The Doll That Took A Detour (Buku keempat seri Hyouka) oleh Yonezawa Honobu

by , in

The Doll That Took A Detour. Boneka Yang Mengambil Jalan Memutar. Judul sebuah novel dari penulis Jepang Yonezawa Honobu, di dalam novel ini ada tujuh cerita pendek tentang seputar kehidupan empat orang anggota Klub Sastra Klasik. Ketika itu mereka masih di masa-masa SMA kelas 1, meskipun dengan tokoh yang sama, namun masing-masing menceritakan waktu dan tempat yang berbeda-beda. Satu cerita dengan cerita lainnya tidak saling berhubungan sebetulnya, masing-masing cerita memiliki plot yang berbeda namun dibangun sesuai urutan waktu yang secara halus menceritakan bagaimana perkembangan hubungan kedekatan mereka satu sama lain. Dari mereka yang canggung, hingga mereka menjadi saling terhubung dan seperti cerita remaja-remaja lainnya, diam-diam mereka sebenarnya saling jatuh cinta. Fukube Satoshi dan Ibara Mayaka, Oreki Hotaro dan Chitanda Eru. 

Seperti yang dikatakan oleh penulisnya, Yonezawa Honobu, pada catatan tambahan di bagian lembar-lembar terakhir novel ini, ia membagi beberapa periode waktu selama tahun-tahun pertama mereka di SMA Kamiyama untuk menggambarkan perubahan jarak diantara ke empat tokoh utama secara agak perlahan. Itulah alasan di balik pemilihan judul novel ini "Boneka Yang Mengambil Jalan Memutar." 

Boneka Yang Mengambil Jalan Memutar adalah cerita pendek ke tujuh atau cerita pendek yang terakhir dari novel ini. Menceritakan tentang festival Hinamatsuri di kuil Mizunashi, ini adalah perayaan setiap tanggal 3 Maret untuk mendoakan pertumbuhan anak perempuan, keluarga yang memiliki anak perempuan akan memasang satu set boneka yang disebut hina ningyo (boneka hina).

Pada festival itu, Chitanda Eru menggunakan kostum permaisuri dan Oreki Hotaro menjadi petugas yang membawa payung cukup besar untuk si permaisuri, sebenarnya ia hanya menggantikan petugas dari di desa itu atas permintaan Chitanda Eru. Yang menarik pada perayaan kali ini, arak-arakan dari kuil terpaksa harus melewati jalan yang menurut riwayatnya adalah batas yang tidak boleh dilalui atas alasan religius. Lalu bermunculanlah spekulasi Oreki Hotaro dan juga Chitanda Eru, bahwa seorang pemuda desa yang sedang pulang dari belajar di Osaka, ia adalah seorang fotografer, sengaja mengacaukan rute arak-arakan boneka Hina demi melihat boneka permaisuri yang mengenakan junihitoe yaitu kimono dua belas lapis lalu berjalan di bawah pohon sakura yang bunganya sedang mekar berwarna merah muda. Sungguh pemandangan yang menakjubkan kata mereka, dan hal itu jelas sekali jarang terjadi.
Buku ini adalah novel keempat dari seri Hyuoka, sebuah novel misteri remaja yang terkenal. Tapi, saya cuman baru baca yang ini, tadinya karena tertarik dengan kehidupan masyarakat Jepang. Ada beberapa buku dari penulis-penulis Jepang, lalu saya memilih tahun lahir penulis yang saya nilai tidak muda lagi, karena tentu ia menulis dengan lebih serius.

Ternyata saya salah, buku ini dengan cerita-ceritanya yang sangat ringan dan kehebatan penulis ketika menjabarkan bagian-bagian yang begitu rinci sehingga mudah dibayangkan. Namun, tidak sulit untuk mengikuti kisah-kisah para tokoh di dalamnya, meskipun tidak membaca buku-buku sebelumnya. Yonezawa Honobu membawa kita mengenal lebih dekat dengan tradisi budaya Jepang, suasana kota Kamiyama dan gang-gangnya mungkin sekitar tahun 2005 ke bawah. Selain itu, Yonezawa Honobu juga mengajak kita untuk berpikir tentang misteri-misteri kecil yang menjadi tema kunci dalam setiah kisah pada novel ini, dimana Oreki Hotaro dan teman-temannya selalu berusaha untuk memecahkan misteri-misteri tersebut, hal itu tak lepas dari rasa penasaran Chitanda Eru yang besar.

Meskipun Oreki Hotaro memiliki prinsip "Kalau tidak perlu dikerjakan, lebih baik tidak usah dikerjakan. Tapi, kalau harus dikerjakan, lakukan dengan praktis." Tapi ia tak pernah bisa mengelak dari rasa penasaran Chitanda Eru, ia selalu merasa diminta untuk memecahkan hal itu.

Satu judul yang paling berkesan bagi saya adalah judul ketiga, Melihat Penampakan. Ini ketika mereka berempat sedang berlibur ke sebuah desa di dataran tinggi yang memiliki sumber air panas terkenal. Yaitu desa Zaizen. Saya suka cerita ini karena saya jadi terbawa larut ke dalam cerita dengan begitu mudahnya, saya bisa membayangkan tempat pemandian air panasnya, udara berkabut yang menyimpan misteri, penginapan yang hening, suasana festival yang terjadi di desa itu, atau apa yang mereka rasakan ketika berada dalam kendaraan umum yang menempuh jalan yang berbatu. Perjalanan yang meletihkan untuk menuju desa yang sangat indah. :)

Ini adalah novel remaja yang masih bisa dinikmati orang dewasa, tulisan Yonezawa Honobu cukup apik dalam menggambarkan tiap-tiap detail dan membangun cerita dengan dialog-dialog yang natural.
Buku ini diterbitkan oleh penerbit HARU, yang memang concern pada penerbitan karya-karya sastra negara-negara Asia. Khususnya, buku-buku untuk kalangan kaum muda namun juga bisa menjadi bacaan bagi kaum dewasanya, atau sebaliknya. Mereka memang menerbitkan dan mencari buku-buku bacaan untuk kaum muda yang beranjak dewasa.

Oh ya, saya sempat mencatat kutipan yang saya simpulkan dari salah satu judul cerita dalam novel ini, "bahwa kita harus mengetahui penyebab dari setiap kemarahan kita, bahkan kita seharusnya juga mengetahui apa yang menyebabkan terjadinya hal-hal yang bisa membuat kemarahan tadi."  Misalnya begini, saya marah pada adik saya yang menumpahkan gelas di atas meja makan, tanpa mengetahui terlebih dahulu kenapa gelas itu bisa tumpah. Apakah yang terjadi tersebut, wajar untuk kemarahan kita? So, apa yang membuat kita? kenapa...? kira-kira begitu.

Eh, ini ada serial animenya juga.

Jepang terkenal dengan budayanya yang maju, hal itu mungkin juga menyebabkan bangsa ini menjadi salah satu bangsa yang unggul di dunia dengan penguasaan teknologi yang canggih.

Hm, saya jadi tertarik membaca buku-buku dari penulis Jepang lainnya deh. ^.^


*)SourceImage: pinterest, google search*)Referensi: Wikipedia, The Doll That Took A Detour, Podcast Kepo Buku 



December 09, 2019

Review Buku: Aksi Cormoran Strike dan Robin Ellacott dalam The Silkworm. Robert Galbraith.

by , in


Aha! saya sebetulnya jadi penasaran pada hubungan Cormoran Strike dan Robin Ellacott nantinya akan gimana, kehangatan diantara mereka di akhir-akhir bab dalam novel ini bikin saya berekspektasi lebih untuk mereka berdua. 

Ya, ini buku pertama dari Robert Galbraith yang saya baca, kisah seorang detektif partikelir yang bernama Cormoran Strike di Denmark Street kota London bersama asistennya Robin.  Ellacott. Wanita yang menarik dan penuh semangat pada pekerjaannya. 

Dalam The Silkworm, mereka memecahkan kasus pembunuhan sadis seorang penulis novel yang telah menghilang, misteri terkuak ketika sang istri penulis mendatangi Cormoran dan memintanya untuk mencari suami yang tak meninggalkan jejak apapun. Melalui draft novel sang penulis yang tersebar di kalangan tertentu, ternyata hal tersebut adalah bagian dari rencana si pembunuh untuk mengelabui, justru menjadi petunjuk bagi Cormoran Strike untuk menemukan pembunuh sebenarnya.

Cormoran Strike berjuang keras untuk membuktikan bahwa teori pihak kepolisian mengenai pembunuh yang salah tangkap itu, dan pembunuhnya bukanlah Leonora istri sang penulis Owen Quine.

Disini yang menarik, Cormoran Strike tidak memiliki kejeniusan layaknya Sherlock Holmes, namun ia memiliki ketajaman teori dan mampu berimajinasi dari potongan-potongan informasi yang ia dapatkan. Saya rasa itulah kelebihan Cormoran Strike, dengan pengalamannya di unit investigasi angkatan darat, ia menjadi terkenal setelah memcahkan kasus pembunuhan sebelumnya, lagi-lagi ia mengalahkan polisi.
Sebenarnya ini adalah buku kedua dari petualangan Cormoran Strike, setelah The Cuckoo's Calling menjadi salah satu buku best seller.

Robert Galbraith sendiri adalah nama lain dari JK. Rowling penulis serial Harry Potter. Siapa tidak kenal? Tapi, tentu masih banyak yang belum mengetahui bagaimana piawainya seorang JK. Rowling menjalin cerita. Saya sendiri membaca Harry Potter hanya beberapa halaman pertama, karena sudah menonton film-filmnya terlebih dahulu.

Tulisan JK. Rowling terkenal sangat detail ketika mendeskripsikan karakter dan latar belakang cerita, baik itu tempat ataupun waktu. Dengan mudah kita akan masuk dalam ilustrasi yang ia buat, ikut berputar-putar dalam imajiansinya. Tak heran jika buku-buku JK. Rowling selalu penuh kejutan dalam bundelannya yang tebal.
Sebagai Robert Galbraith dengan serial fiksi kriminal yang mengangkat kisah Cormoran Strike, saya tidak begitu dapat membandingkan gaya tulisannya ketika sebagai JK. Rowling yang menulis Harry Potter, namun karena terbiasa dengan gaya tulisan Dan Brown yang selalu punya kejutan yang menghentak bahkan diluar dugaan hal yang ia tuliskan dapat terjadi, tapi hal-hal seperti itu menjadi sangat khas ketika diracik oleh seorang Dan Brown.

Saya tidak sedang membandingkan karya dua orang tersebut, hanya saja saya dapat menarik kesimpulan tentang tulisan Robert Galbraith ketika menulis cerita yang seharusnya sangat mendebarkan. Bahkan saya merasa ending dari novelnya ini, The Silkworm adalah antiklimaks. Namun, tulisan Robert Galbraith tidaklah mengecewakan, ia tetap dengan kepiawaiannya meracik deskripsi cerita. Bayangkan saja, saking saya penasarannya ketika membaca di pertengahan buku, akhirnya saya langsung loncat ke halaman akhir untuk mengetahui siapa pembunuh sebenarnya.

Hahaha.

Setelah itu harusnya saya malas dong kalau harus lanjut lagi, sementara udah tau ini siapa pembunuhnya.  Ya kan? tapi gak begitu, saya justru penasaran bagaimana jalan ceritanya dari bab ke bab. Dan saya balik lagi ke pertengahan buku untuk melanjutkan bacaan yang tertunda, saya tidak ingin terlewat setiap detail dari buku ini. Dan, ketika bukunya selesai saya tuntaskan, rasa sayang pada buku ini muncul.

Dan dengan begitu, saya ingin membaca lagi kisah-kisah lain tentang Cormoran Strike dan Robin Ellacott. JK. Rowling tidak kehilangan jati dirinya sebagai penulis yang deskriptif. Saya larut dalam kehidupan kota London kala itu, dari satu cafe dan restoran ke tempat-tempat selanjutnya. Bagaimana jalanan bersalju, dan lembabnya malam di tengah jalan-jalan yang sepi.

Bagaimana penggambaran Owen Quine yang hanya dari cerita tokoh-tokoh yang ada dalam buku ini, karena dari awal Owen tidak pernah muncul sebagai tokoh yang hidup dan berinteraksi dalam buku ini. Sungguh ia adalah sosok yang menjengkelkan, seorang penulis yang haus akan popularitas dan pria yang berselingkuh namun, ia sangat menyanyangi putrinya yang berkebutuhan khusus.

Robert Galbraith pun menulis dengan sangat apik bagaimana tingkah dan interaksi keseharian seorang gadis yang berkebutuhan khusus seperti Orlando Quine, putri Owen yang selalu dikhawatirkan oleh Leonora.

Begitu pula dengan Cormoran Strike sendiri, kita dapat mengenalnya sangat dekat dan mengikuti setiap perubahan perasaannya. Hanya saja sulit berpikir seperti cara pikir Strike ketika ia berhasil dengan induksi dan deduksinya.

Saya rasa begitu, secara keseluruhan The Silkworm sangat bagus meski tidak juga terlalu bagus untuk fiksi kriminal. Masih banyak tanya ketika saya mengakhiri bacaan ini, motif yang tidak terlalu kuat di balik terjadinya pembunuhan ini. Begitu banyak konflik yang berputar diantara kelompok utama dalam cerita ini. Dengan kata lain, cukup bertele-tele tapi kita pun tidak ingin ketinggalan dari setiap penggalan ceritanya.

Hem, sepertinya saya perlu membaca serial Cormoran Strike lainnya untuk mengetahui lebih jauh kehebatan Robert Galbraith dalam menjalin kisah-kisah dalam serial ini. Mungkin ulasan ini terlalu terburu-buru menarik kesimpulan mengenai Robert Galbraith dan Cormoran Strike-nya.




*)Source Image: Google&Pinterest