THOUGHT&BOOK

November 15, 2019

Sehari di Ubud

by , in
Perjalanan ini diawali dengan keinginan saya atau lebih tepatnya impian saya menjadi bagian dari Ubud Writers and Readers Festival @ubudwritersfest. Yah walaupun hal itu masih saja hanya sebatas impian saya :)

Ubud Ketika Itu

Sekilas tentang Ubud Writers and Readers Festival atau biasa disingkat dengan UWRF, dulu sekali saya kepengin banget jadi penulis emerging pada festival ini, karena bisa jadi undangan pada sebuah acara keren dan gratis. Mungkin dua elemen tadi menjadi sangat penting bagi saya yang memang terlalu cinta dengan buku dan menulis, juga jalan-jalan.

Namun, saya jadi bertanya pada diri sendiri apakah saya serius terhadap impian itu? Kok gak ada tindakan yang signifikan sih? Mencoba menulis tapi gak pernah selesai, saya malah kebingungan bagaimana menulis dengan standar tulisan yang bisa masuk festival.

Sempat beberapa bulan yang lalu saya juga mengikuti MIWF2019 sebagai penulis emerging, saya mengirimkan 5 judul cerpen yang entah bagaimana mampu saya selesaikan dan tepat di hari terakhir saya mengirimkan karya saya itu melalui email. Karena syaratnya hanya pengiriman melalui email saja.

Saya pikir sebelum menjadi salah satu penulis di UWRF mungkin langkah penting adalah saya harus mencoba festival yang sama namun wilayahnya lebih dekat dengan domisili saya di kawasan timur Indonesia. Motivasi yang sama sebetulnya, eksklusifnya event semacam ini membuat saya mencatat target pencapaian menulis adalah turut serta di dalamnya.

Pemenang penulis emerging MIWF 2019 akhirnya di umumkan, gak ada nama saya. Gak terlalu kecewa sih karena udah nyadar sendiri gimana kualitas tulisan saya, yang disiapkan pun terkesan tergesa-gesa dengan tema cenderung dipaksakan. Saya sempat kepo juga tulisan para pemenang, dan saya langsung merasa rendah diri.
Karena merasa belum mumpuni dan saya harus bekerja lebih keras lagi dan juga lebih tekun, lalu saya memutuskan ingin ke Ubud pada saat yang bertepatan dengan UWRF 2019, yah setidaknya bisa merasakan good vibe festival ini.

Prolognya gak lumayan panjang kan ya :)
25-26 Oktober 2019.

Aroma Dioscorea pyrifolia selalu memenuhi penciumankuDi sini akan merebak ebih pekat, dupa yang dibakar tiap persembahan. Hampir di setiap sudut pulau Bali.

Sehari di Ubud, ketika itu saya dan suami tiba di Ubud menjelang waktu magrib. Kami berangkat dari Sanur dengan menyewa motor dari sana. Dengan google map kami menyusuri jalanan Bali antar wilayah, Bali sepertinya lebih macet dari terakhir kali saya ke sana sekitar tahun 2014 kalau gak salah ingat.

Google Map sempat terhenti lantaran handphone saya dan suami kehabisan batrai, kita juga tidak membawa power bank atau batrai cadangan lainnya. Terakhir saya charge handphone sewaktu makan di sebuah warung padang deket pantai Shindu, dan itupun gak terlalu membantu.

Akhirnya bertanya saja sama penduduk yang kami temui, sebetulnya jalannya tidak rumit tapi kadang tersasar karena ada perempatan. Dan sepanjang perjalanan sebenarnya selalu ramai aktivitas penduduk dan pemukiman. Jadi tidak terasa sedang dalam perjalanan antar daerah. Hanya karena beberapa kali kesasar jadi lumayan menghabiskan waktu.

Setiba di Ubud yang dimaksud, ketika kami sudah melewati patung Arjuna di perempatan. Di sana kami bertanya lagi tentang lokasi penginapan kami, hampir semua orang mengenail daerah yang saya sebutkan. Kutuh, karena ternyata itu nama sebuah desa, jika menyebutkan 'jln Tirtha bla bla' kebanyakan orang kurang paham.
Penginapan kami memang terletak agak sepi dari pusat keramaian Ubud, di jalan Tirtha Tawar Kutuh Ubud. Penginapannya cukup nyaman dan sepi. Resepsionisnya sangat ramah, saya saja sempat ngecharge handphone untuk ngecek kamar yang saya pesan.
Sebetulnya tidak begitu jauh dari desa Nyuh Kuning dan Art Market Ubud. Setelah melepas lelah dan mandi, saya kepingin banget jalan-jalan menikmati Ubud pada malam hari, namun badan terasa amat lelah. Jadi, saya dan suami hanya keluar sebentar ke mini market yang tidak jauh dari jalan Tirtha. Ubud tampak ramai juga pada malam hari, turis-turis, toko-toko suvenir, kafe-kafe dan restoran. Namun, tidak sehingar-bingar Kuta atau Denpasar dan sekitarnya, wajar saja karena Ubud adalah salah satu wilayah di kawasan Bali yang sangat kental tradisi budayanya dan sangat religius.
Saya liat jadwal UWRF 2019 untuk tanggal 25 itu, masih ada beberapa jadwal acara hingga malam di beberapa tempat, seperti di Bar Luna salah satunya seorang designer muda Didiet Maulana dengan Indonesian Chic, di Taman Baca ada pemutaran film terbaru Garin Nugroho 'Kucumbu tubuh indahku', dan Betelnut cafe. Tapi saya gak ada beli tiket UWRF dan gak sempat ngecek juga acara free-nya yang mana. Jadi, malem itu saya tunda dulu deh untuk observasi lokasi-lokasi kegiatan UWRF.

Malem itu berasa magis, udara dingin, penginapan yang di kelilingi petak persawahan jauh masuk ke Kutuh. Sayangnya padi-padi sedang dipangkas, jadi gak tampak indah. Dari kejauhan terdengar suara alat-alat musik tradisional dimainkan, dan nyanyian tembang atau mantra barangkali. Lantunan itu terdengar hingga jauh malam, mungkin ada yang latihan untuk sebuah pertunjukan atau ada upacara keagamaan di sekitar Kutuh, karena di sepanjang jalan tirtha saya temui beberapa pura-pura kecil.

Ada yang menarik ya dengan ciri khas rumah masyarakat Bali, atau bangunan lainnya seperti Sekolah misalnya, yaitu pintu depan rumah yang berbentuk gerbang dan biasanya jika pintu sedang dibuka, dari luar akan tampak patung-patung dalam kepercayaan mereka seperti penjaga rumah.
Besok paginya saya kepingin banget ngerasain sejuk udara perbukitan Ubud, katanya sih bukit Campuhan lumayan asik buat jogging. Saya bukan pingin jogging sih tapi motret, kebetulan juga gratis masuknya. Lokasinya kalau menurut google map sekitar 11 menit kalau gak kesasar. Dan ternyata, memang kesasar karena gak paham membaca map hahaha. Setelah puas muter-muter tersasar satu jam lebih, dan akhirnya bertanya ke penduduk sekitarlah yang menyelamatkan, setibanya di sana ada satu pura yang tampak tua dan berlumut, jadi terkesan misterius, entah pura ini bernama apa.
Udara disana terasa segar, dan banyak turis baik lokal maupun mancanegara yang jogging atau sekedar jalan-jalan saja. Pemandangan sekitar yang masih hijau dan terdapat sungai jernih yang mengalir di bawahnya, di sisi yang lain tampak jejeran rumah penduduk yang asri.
Gak tau seberapa jauh jarak track bukit campuhan ini, saya gak sampai ujung karena lumayan juga sepertinya. Puas motret, karena sudah menjelang siang pukul sembilan, perut sudah mulai merajuk karena tadi cuman sarapan roti saja. Sejujurnya saya kurang puas karena gak mendapatkan sunrise atau kabut pagi bukit campuhan, ya siapa suruh datang telat dan kesasar. Walaupun jadi keliling Ubud dan liat tempat-tempat yang unik seputar jalan yang kami lalui, bahkan jadi tau spot-spot yang jadi lokasi semua acara UWRF 2019.

Ternyata kesasar gak berhenti pada pencarian bukit campuhan, karena kami berdua lebih tertarik ke Art Market Ubud ketimbang mengunjungi beberapa pura atau main ke Monkey Forrest, jadi kami langsung mengikuti map menuju ke sana. Handphone saya begitu cepat drop, dan kami kembali bertanya sana sini di mana letak Art Market Ubud.
Di Art Market Ubud, hari masih terlalu pagi dan pasar belum begitu ramai masih banyak ruko-ruko yang tutup atau sedang berkemas akan buka. Begitu juga dengan lapak-lapak yang memenuhi sisi ruas jalanan di dalam kawasan pasar. Beraneka ragam suvenir, dari pakaian hingga tas dan sandal, gelang-gelang, dan gantungan kunci. Ada juga beraneka ragam topeng dan hiasan dinding juga hiasan ruangan. Yang sangat menarik adalah warna-warni beraneka ragam jenis bunga yang masih segar pun dijual di sini. Bau dupa di mana-mana, sepertinya selalu ada sesajen di pagi hari. Pasar ini juga cukup bersih.
Puas mengambil foto dan belanja tas rajut dari bahan ate yang jadi salah satu kerajinan khas daerah Bali, saya juga tertarik dengan dream catcher berwarna putih. Ukurannya mini saja seharga 25 ribu rupiah setelah penawaran :)

Ada kejadian lucu dan menjadi sebuah pelajaran juga bagi saya, ketika saya sedang asik memotret barang dagangan seorang ibu tua, yaitu beraneka macam bentuk topeng hias dari logam dan kayu--seingat saya sih karena hasil fotonya blur--ibu itu setengah berteriak membentak saya, sempat beberapa kali ia mengatakan "hallo... hallo!" Baru saya tersadar lalu menoleh, ibu itu tampak garang di tempat duduknya, "jeprak-jeprek tak ijin."

Saya pun dengan tergagap mengucapkan maaf dan lekas kabur, suami saya baru sadar akan hal itu setelah saya cerita dan mengajaknya untuk memilih jalan yang lain. Pokoknya tidak bertemu ibu itu lagi, saya jadi trauma :D

Selanjutnya saya jadi berhati-hati untuk mengambil foto, atau saya ijin dulu ketika memotret seorang ibu yang meletakan sajen di depan rumahnya. Atau setidaknya sambil membeli barang dagangan terus sambil jepret-jepret deh.
Jam 11 siang kami harus check out dari penginapan, packing juga belum. Ya udahlah kami keliling lagi cari warung muslim, setelah itu muter-muter lagi cari jalan ke penginapan. Hahaha. Jadi ceritanya seru di muter-muter kesasarnya ajasih selama di Ubud, tapi justru karena itu saya jadi banyak melihat dan mengamati kehidupan dan bangunan-bangunan yang ada di kawasan ini.
Dan sepertinya kami sudah berulang-ulang melewati monkey forest, haha... tapi, yang asik ketika bertanya pada orang-orang yang kita jumpai, kita jadi bisa berinteraksi dengan mereka. Orang-orang lokal, tahu bagaimana mereka merespon, mendengar suara mereka yang bersahabat, atau melihat senyum mereka yang seolah mengucapkan kedekatan. Tentu tidak begitu jika sama mbak Google map. :)

Akhirnya selesai beberes kamipun pamitan untuk meninggalkan penginapan, rencananya sih kepingin liat Nyuh Kuning, salah satu desa yang sering dibicarakan para pelancong akhir-akhir ini. Keliling sebentar di kawasan Nyuh kuning? Sebuah desa asri dan bersih dengan rumah-rumah khas Bali. Kami melewati gang kecil disamping area pejalan kaki di sebuah kawasan hutan sepertinya yang dihubungkan dengan sebuah pura, di ujung gang kami justru keluar di depan pintu masuk Monkey Forest.
Saya tidak begitu jelas dengan jadwal UWRF tanggal 26, jadi kami ke lokasi aja langsung untuk melihat dan motret-motret sebentar. Masuk ke area box office, bertemu beberapa panitia namun ragu untuk menanyakan suatu hal. Hahah, beli tiket juga mungkin rugi kalau cuman sehari karena setelah ini kami langsung ke Art Market Sukawati dan mengembalikan motor ke Sanur pukul empat sore. Jadi, agak mepet ya.

Ya sudah, merasakan euforianya dari luar. Setidaknya festival keren ini real di depan mata meskipun belum tercapai. Hihii.. menurut saya UWRF sangat eksklusif, jadi teringat apa kata suami saya ketika melihat saya merasa sangat jauh dengan UWRF, "jangan merasa berjarak karena acaranya begitu eksklusif, tapi buatlah diri menjadi eksklusif."

Saya jadi semangat suatu hari bisa berada di sana, entah sebagai penulis emerging atau barangkali sebagai speaker ;) Setelah dua kali saya ke Ubud, salah satu motivasi saya tetap sama, yaitu UWRF.
Setelah puas berkeliling dan terjebak di macetnya lalu lintas di pusat keramaian Ubud, dan berpapasan dengan rombongan upacara adat, tapi tepatnya sih kesasar kali ya. Hahaha, lumayan sih dapat hasil jepretan walaupun masih kurang banyak. Ada beberapa toko buku yang saya lewatin tapi gak sempat mampir, salah satunya Ganesha Bookshop. Sedih juga gak sempat motret.
Tulisan saya kali ini panjang banget, padahal cuman cerita tentang kesasar. Hahaha. Well, rasanya saya ingin menikmati lebih lama lagi di Ubud, menikmati harmoni keramahannya, jalan-jalan yang di penuhi dengan karya seni, aroma dupa yang menyambut pagi dan suasana teduh di salah satu kafe dengan segelas kopi atau minuman coklat dingin dengan lelehan krim. Yah, dilain kesempatan  mungkin, ataaau ketika menghadiri undangan resmi UWRF 2020 :)
November 04, 2019

Review Buku: RESIGN! versi Almira Bastari

by , in
Sebetulnya gak ada niat sih untuk menulis resensi buku dengan sungguh-sungguh, cuman mau menandai buku apa aja yang sudah selesai saya baca. Terutama di tahun ini, saya punya targetan baca buku setidaknya lebih dari 20 buku. Namun, saya selalu saja merasa sibuk untuk meluangkan waktu membaca buku sampai tuntas. 

Well, ada satu buku yang cukup asik dibaca nih, ceritnya yang ringan dan pemilihan katanya juga enak dipahami. Seperti novel metropop pada umumnya, novel ini menceritakan tentang lika-liku kehidupan pekerja ibu kota. Yah, emang terasa jauh sih jika dibandingkan dengan kehidupan kerja saya sehari-hari.

Yang membuat saya betah membaca novel ini hingga selesai justru karena cerita dunia pekerjaan ditulis begitu renyah. Terbayang gak sih mendapat pekerjaan impian dengan gaji yang wow tapi pun punya atasan yang super suka-suka? Suka-suka dalam segala hal aturan kerja dan hasil kerja yang malah cenderung mekekang kebebasan pribadi. 

Nah, masalah yang diangkat jadi cukup serius ya? Dan secara umum hampir semua pekerja pernah mengalami hal ini. 

Justru di sinilah kepiawaian Almira Bastari cukup kental, emosi saya pun larut dalam narasi yang diurai jelas dan rapi. Saya gak bisa berhenti membaca, dengan segala kesibukan saya bisa menuntaskan novel Resign ini dalam 2 hari. 
Hal menarik lainnya adalah, menurut saya banget nih ya... Almira Bastari yang berangkat dari penulis wattpad dan akhirnya menerbitkan dua buah buku yang laris di pasaran. Jujur, saya memandang agak sebelah mata loh sama penulis-penulis akun media semacam ini, entah kenapa. Mungkin karena media ini terlalu terbuka untuk umum, dan siapa saja bisa menulis di sana tanpa kriteria apapun yang mengindikasikan berkualitas apa gaknya sebuah tulisan.

Namun, saya juga udah punya akun wattpad loh... malah nulis juga di situ. Hehehe. Usut punya usut, haha kalimat itu jadul banget kan ya, banyak cerita-cerita yang ditulis dengan bagus di situ. 

Selain itu juga, sudah banyak tulisan yang akhirnya diterbitkan oleh penerbit-penerbit terkemuka atau penerbit indi. Keren banget kan sebenernya.

Oke, balik lagi ke topik awal yaitu tentang novel kedua Almira Bastari, saya rekomendasiin deh sebagai buku yang ringan dan sangat menghibur. Namun tata bahasanya gak serampangan dan juga yang paling penting banyak informasi umum yang menambah wawasan kita.

Sementara yang agak bikin saya kurang pas gitu, ada beberapa hal seperti dipaksain untuk masuk dalam inti cerita yang pada akhirnya kita ngeblank sendiri kayak 'itu apasih hubungannya, emang apa aja sih yang terjadi, kok bisa ya..'

Selamat membaca yaa, emm agak mirip sih sama nonton ftv hehehee. Tapi, masing-masing media punya apresiasi sendiri.


*)Source Image: Google.