THOUGHT&BOOK

August 31, 2019

Review Buku: Rainbirds yang terkisah dari Clarissa Goenawan

by , in

Rainbirds yang ditulis oleh Clarissa Goenawan pernah meraih The Bath Novel Award 2015, sebuah prestasi yang membuat saya penasaran untuk membaca tulisannya.

Singkat cerita, saya mendapatkan buku ini pada tumpukan buku-buku di Gramedia. Tak sabar membacanya, tau-tau saya sudah menyelesaikannya dalam tiga hari nyambi ngantor dan mengurus rumah. Sebuah kejutan bagi saya yang biasanya paling tidak satu buku dalam dua minggu baru tamat,  untuk ketebalan buku seperti Rainbirds, hal ini tentu saja menarik.

Baiklah, kita masuk dalam pembahasan buku yang ditulis oleh Clarissa Goenawan, Rainbirds. Tulisannya cukup ringan mudah dipahami dengan pilihan-pilihan kata yang menarik namun terangkai apik. Alur cerita yang maju-mundur terasa sangat mengalir, kita tidak akan kesulitan untuk mengikutinya. 

Jika sudah pernah membaca karya-karya penulis Jepang, seperti Haruki Murakami misalnya, kita akan langsung mengerti dari mana Clarissa Goenawan mendapat inspirasi dan bagaimana ia membalut kisah dalam Rainbirds. Meskipun ia seorang penulis Indonesia, saya rasa Clarissa Goenawan cukup piawai menggambarkan pendekatannya pada kehidupan Jepang, saya larut di dalamnya. Walaupun saya akui, Rainbirds ditulis tidak cukup mendalam sehingga tidak meninggalkan kesan seperti setiap kali saya membaca buku yang menarik bagi saya.
Namun, Rainbirds sangat menghibur dengan segala yang sederhana dan mudah dicerna di dalamnya. Misal saja kota imajiner Akakawa yang menjadi setting utama dalam cerita, poin ini yang menarik bagi saya. Bagaimana Clarissa Goenawan membangun kota dan kehidupannya melalui imajinasi, sungguh suatu hal yang patut membuat saya merekomendasikan buku ini untuk dibaca.

Clarissa Goenawan membuat banyak konflik-konflik kecil untuk menuju satu konflik utama, awalnya saya kira ini adalah tentang bagaimana kita akan digiring menuju pembunuh sesungguhnya, sebuah kronologi atau barangkali trik thriller yang mencengangkan, tapi ternyata Rainbirds adalah sebuah novel yang bisa dikatakan masuk kategori novel psikologis. 

Dari semua rentetan kisah, sebenarnya hanya terpusat pada Ren Ishida dan pergolakan dalam dirinya sendiri. Rasa sayang yang tak ia pahami terhadap kakaknya yang terbunuh secara misterius dan mendatangkan rasa bersalah kemudian menghantuinya.

Yah, gak banyak yang bisa saya cerikan tentang novel Rainbirds. Silahkan baca ya, sesuatu yang berbeda dari penulis baru Indonesia.



*)Source Image: Pinterest, Google Image
August 14, 2019

Sastra atau Fiksi Populer?

by , in
Sebetulnya saya agak sedikit kebingungan memilah antara karya sastra dan fiksi populer. Tadinya saya hanya berpikir bahwa karya sastra memiliki diksi yang lebih rumit dengan mengangkat cerita yang lebih berat. 

Namun, ketika jalan-jalan ke toko buku saya menjadi tambah kebingungan.

Kenapa?

Karena buku-buku yang terpajang sudah beragam alirannya. Ada novel terjemahan, novel remaja, novel dewasa, novel metropop, puisi, fiksi religi, komik, fiksi dengan ilustrasi penuh, buku motivasi yang juga diikuti seni grafis, fiksi yang berbahasa Inggris dengan penulis Indonesia, dan lain sebagainya.

Apakah ini sebuah perkembangan? Ya, barangkali begitu.

Dulu semasa kuliah saya cukup mengenal chicklit dan teenlit, ceritanya ringan dengan bahasa yang mudah namun sangat menghibur. Sekarang mungkin berganti dengan novel metropop dan novel remaja.

Beranjak lebih dewasa, saya mulai diracuni oleh teman dengan bacaan yang lebih berat dan terkadang sulit saya pahami dan membuat saya bosan. Yaitu buku-buku yang bertema politik atau lainnya baik fiksi maupin non fiksi. Lama-kelamaan saya justru ketagihan mencari jenis fiksi serupa, saya menjadi lebih berpikir ketika harus memahami kata-kata yang tersusun, saya menemukan wawasan baru dan lebih luas.

Saya merasa dekat dengan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi pada suatu waktu, melalui fiksi para penulisnya mencoba menceritakan apa yang sebenarnya pernah terjadi dan membawa saya untuk lebih mendalami apa yang saya baca.
Sejak saat itu saya meninggalkan chicklit dan teenlit, ehm.

Mmh, kembali lagi pada apa yang ingin saya bahas disini, yaitu mana yang lebih menarik antara karya sastra atau fiksi populer? Nah, sebelum itu saya harusnya bisa dong membedakan keduanya.

Khususnya dalam bentuk tulisan, sastra meliputi karya-karya fiksi dan non fiksi. Namun dalam perkembangannya sastra pun mengalami periode dan melebur ke dalam beberapa bentuk. Prosa dan Puisi adalah bentuk yang familiar dalam karya populer.

Lalu, dimana posisi fiksi populer dalam dunia sastra?

  • Prosa Lama adalah prosa yang dibuat murni dengan bahasa Indonesia dan belum dipengaruhi oleh budaya Barat. 
  • Prosa Baru, justru kebalikannya. Prosa yang dikarang bebas tanpa aturan apapun dengan berbagai pengaruh budaya asing.
Jadi bisa dikatakan, fiksi populer merupakan bentuk Prosa Baru dalam sastra yang terdiri dari jenis-jenis novel  dan karangan lainnya yang berkembang pesat setelah era reformasi.

Dan beberapa tahun terakhir ini, menjamur karya prosa yang disandingkan dengan ilustrasi seni rupa. 

Kembali kepada fungsi sastra menurut saya, sastra memiliki sudut pandang sendiri dalam mencatat peristiwa dan waktu. Jadi, sekalipun perkembangan sastra serius kini melahirkan bentuk baru yaitu fiksi populer, haruslah tetap berpegang pada fungsi ini. Ada nilai yang berkembang dalam masyarakat, dan kita menangkapnya melalui pesan-pesan yang terkandung dalam setiap karya.

Yah, saya begitu mencintai 'kata-kata' yang mampu mendeskripsikan sesuatu, seakan-akan saya dapat melihat dan merasakan hanya dengan membaca rangkaian kata-kata. Hmm, mungkin ada literasi yang lebih tepat untuk hal ini? diskusiin yuk temen-temen...




*)source image: pinterest and canva. *)Referensi: wikipedia dan perenungan.