THOUGHT&BOOK

July 21, 2019

Virginia Woolf dan Karya Novelnya

by , in
Bagi saya penulis-penulis klasik selalu membuat penasaran, terlebih pada penulis wanitanya. Nama dan karya mereka yang melampaui zaman, tak jarang menjadi pionir dan karya rujukan. 

Mereka terlahir dengan cemerlang di tengah keterbatasan bagi perempuan pada masa itu, mereka menulis dengan sepenuh hati dan jiwa mewakili suara-suara yang tak memiliki kesempatan yang sama untuk menyuarakannya.

Salah satu penulis hebat itu adalah Virginia Woolf, penulis berkebangsaan Inggris ini hidup antara tahun 1882-1941. Ia lahir di London dengan nama Adeline Virginia Stephen.

Karya-karyanya ketika itu menjadi yang paling inovatif dalam literatur abad ke-20. Woolf merupakan sosok yang sangat jenius dan menonjol pada masa itu.

Latar belakang keluarga menjadi pengaruh besar atas perkembangan Woolf, terutama dalam bidang sastra. Ayahnya, Sir Leslie Stephen adalah seorang penulis esai, editor, serta kritikus sastra dan ibunya, Julia Prinsep Duckworth Stephen adalah seorang model cantik yang terkenal. Keluarga ini menjadi salah satu keluarga terkemuka yang membawa mereka ke dalam lingkaran tertinggi kehidupan budaya Inggris, orang tua Woolf mengenal banyak tokoh intelektual dari era Victoria akhir seperti Thomas Hardy dan Henry James.

Sedangkan salah satu bibi buyut Woolf, Julia Margaret Cameron adalah seorang fotografer yang pernah membuat potret tokoh-tokoh terkenal seperti Charles Darwin dan Alfred Tennyson.

Perpustakaan Mammoth milik ayahnya menjadi tempat yang sangat penting bagi Woolf untuk memenuhi hasrat membaca. Ia menulis sebuah esai tentang ayahnya yang kerap melantunkan puisi ketika berjalan atau menaiki tangga. 

Pada masa mudanya, Woolf sangat aktif dalam setiap kegiatan kepenulisan terutama di bidang sastra. Ia mempelajari dan memeriksa buku-buku untuk Times Literary Supplement, menulis sejumlah artikel, kritik dan esai.

Woolf juga sempat mengajar bahasa inggris dan sejarah di Morley College London, meskipun ia tidak memiliki gelar sarjana.
Dengan reputasinya yang terus meningkat, Woolf menjadi penulis wanita yang paling sering menjadi subjek teori sastra, dimana teori-teorinya begitu menarik untuk dibahas. Tulisannya sendiri pun diminati semua kalangan dalam sastra modern.

Banyak komentar para penulis besar mengenai kepiawaian serta kepekaan Woolf dalam mengolah kata, betapa kritisnya pandangan Woolf terhadap setiap karya tulis yang ia tinjau.

Melalui tulisan-tulisannya Woolf disebut-sebut sebagai salah satu tokoh feminis, mungkin karena Woolf selalu berusaha meleburkan unsur-unsur sastra ke dalam materi fisik dan sensasi, melalui pandangannya terhadap segala hal yang bersinggungan dengan wanita. 

Banyak foto profil Woolf yang diambil dari arah tatapannya ke samping, dalam sorot matanya yang penuh intensitas tersebut menggambarkan dengan jelas tentang kedalamannya berpikir, baik dalam percakapan maupun tulisan. Yaitu, tidak hanya melihat subjek namun lebih jauh lagi menggali kesimpulan dan implikasi dalam berbagai hal.

Woolf mungkin saja menggunakan laut--begitu menonjol dalam fiksinya--sebagai metafora tentang kedalaman makna yang melebihi subjek yang tampak. Ia pun tampak tak begitu tertarik pada pembicaraan yang remeh-temeh, ia selalu tampak begitu serius. Bahkan semenjak ia kecil, Woolf tak pernah betah ketika bermain.

Karya Novel Virginia Woolf

Woolf memulai novel pertamanya "Melymbrosia" pada tahun 1907, namun kemudian diterbitkan pada tahun 1915 dengan judul "The Voyage Out."

 
Pada tahun 1919, karya Woolf yang berjudul "Nigth and Day" diterbitkan. 
Menyusul kemudian, "Jacob's Room" tahun 1922. Dalam novel ini ia menerapkan bentuk tulisan yang disebut dengan stream of consciousness atau aliran kesadaran, sebuah gagasan besar yang diperkenalkan oleh Woolf dalam dunia sastra. 

Tahun 1925, aliran tulisan consciousness Woolf berikutnya diterbitkan dalam bentuk novel "Dalloway." Ini adalah karya Woolf yang paling terkenal, menceritakan rangkaian peristiwa yang terjadi dalam satu hari. 

Tahun 1927, Woolf melalui tulisannya yang mengeksplorasi tentang konsep waktu dan perubahan yang berkaitan dengan kepribadian, dan menerbitkannya "To The Lighthouse."

"Orlando" ditulis dengan karakter yang terinspirasi dari seorang teman kecilnya, Vita Sackville-West. Dimana tokoh utama diceritakan bergerak melewati beberapa waktu dan kehidupan lalu mengubah jenis kelamin. Woolf menerbitkan novel ini pada tahun 1928.

Tahun 1931, terbit karya Woolf yang paling stylized, "The Waves."

Tahun 1937, dalam buku ini "The Year" ia mengadopsi struktur tulisan yang lebih tradisional dan mengurangi struktur-struktur internal seperti pada kebanyakan karya-karya fiksi sebelumnya.

Tahun 1941, "Between The Acts" diterbitkan tak lama setelah kematiannya pada usia 59 tahun.

Virginia Woolf dan suaminya Leonard Woolf, mendirikan sebuah percetakan dan penerbit yang banyak menerbitkan novel Woolf. Mereka pun tercatat sebagai anggota aktif Bloomsbury yaitu suatu perkumpulan intelektual Inggris, yang termasuk penulis, seniman, dan kritikus.

Woolf menyebut dirinya 'gila' dan seringkali mendengar suara-suara halusinasi, kondisi mentalnya terganggu berawal dari kehilangan ibunya dan beberapa peristiwa lain. Kelelahan dan depresi membuat ia menarik diri dari kehidupan sosial dan berakhir dengan menenggelamkan diri di sungai Ouse.

Menulis adalah terapi bagi Woolf, dimana ia mencoba memahami dan mengatasi kondisi mentalnya. Ia mengatakan bahwa menulis adalah kesenangan terkuat untuk menghadapi hidup. Pada saat menulis, ia tampak bersemangat dan stabil. 
Sebetulnya banyak yang ingin saya tuliskan tentang Virginia Woolf, dan ini hanya sebagian kecil mengenai dirinya. Banyak hal yang menarik tentang penulis klasik ini, membahas Stream of Consciousness misalnya, mmh... 

"Kata-kata seperti halnya kita, untuk dapat hidup dalam ketenangannya, membutuhkan wilayah pribadi mereka. Tak diragukan mereka menginginkan kita untuk berpikir, mereka menginginkan kita untuk merasa, sebelum kita menggunakannya." Virginia Woolf







Referensi: www.literaryladiesguide.com, galeribukujakarta.com, wikipedia.&Source Image: Ria Mega Sari, Pinterest, Canva, Google










July 13, 2019

10 Tip Menyelesaikan Sebuah Novel

by , in
Menulis adalah kegiatan kreatif untuk menghasilkan karya-DEE

Salah satu cara paling simpel menentukan ide cerita adalah dengan menuliskan ide itu sebagai kejadian dalam satu kalimat-Sitta Karina.

Ide tak ditunggu dan tak dicari, tapi disusun-Agus Noor




Saya agak kebingungan nih, gimana menuangkan ide-ide yang berkelebatan di benak saya untuk dijadikan sebuah novel yang selesai. Se-le-sai. 

Dee Lestari sendiri memiliki suatu formula, yaitu untuk menyelesaikan tulisan, sebagai seorang penulis harus memiliki sensitivitas dalam mengumpulkan ide, menangkap ide, dan mampu melakukan riset. 

Ini nih beberapa tip yang saya rangkum dari beberapa penulis Indonesia, bagaimana menggarap ide menjadi sebuah tulisan utuh yang terstruktur;
  1. Memilih ide yang paling kuat. Ide yang dapat dikembangkan hingga selesai dalam sebuah tulisan. Membangun ide ke dalam bentuk tulisan awal-tengah-akhir, menjadi sebuah premis.
  2. Memiliki kemampuan visual dramatik. Bagaimana seorang penulis mampu membayangkan hal yang sederhana menjadi luar biasa, sisi dramatik dalam setiap kejadian dan tindakan yang terjadi.
  3. Riset. Informasi yang dapat membuat ide-ide seorang penulis tampak nyata dan hidup, yang dapat digambarkan dimana pembaca pun seolah masuk dalam cerita yang dituliskan. Baik dalam penggambaran latar tempat dan waktu, maupun karakter-karakter tokoh.
  4. Penokohan. Merupakan titik tentu keberhasilan sebuah tulisan fiksi, dan tokoh pun memiliki tugas utama yaitu menyampaikan pesan sang penulis kepada pembaca. Jadi, penggambaran tokoh haruslah dekat dan terjangkau oleh indera pembaca.
  5. Identifikasi permasalahan penitng yang dialami oleh tokoh utama. Penulis harus memahami persoalan yang signifikan dan mengganggu kehidupan si tokoh utama.
  6. Gali latar belakang kehidupan si tokoh utama. Hal-hal yang pernah terjadi pada tokoh utama, yang mempengaruhi dalam pengambilan keputusan, pola pikir, dan sudut pandang. Tentunya hal ini tidak lepas dari latar belakang si tokoh utama.
  7. Gabungkan masalah utama dan latar belakang diatas. Dari penggabungan ini, maka akan muncul konflik. Dan konflik diibaratkan jantung sebuah cerita. Konflik ditandai dengan munculnya pertentangan antara tokoh dengan lingkungan atau masalah yang terjadi.
  8. Kuasai awal cerita dengan tokoh protagonis cerita. Hal ini akan membuat kesan yang kuat tentang siapa tokoh utama yang akan memerankan cerita hingga selesai, buatlah perkenalan dalam 300 kata.
  9. Membangun latar waktu dan tempat. Ini merupakan hal yang sangat penting, dimana kita menetapkannya dari awal dan dengan konsisten, bagaimana cerita berlangsung pada suatu ketika dan disuatu tempat. Kendalikan pembaca dengan latar yang kita ciptakan, misalnya dengan penanda-penanda latar, suatu kejadian atau ciri yang mendukung. Dan dalam hal ini penulis membutuhkan riset yang mendalam.
  10. Susunlah draft cerita. Setelah ide matang dan digodok dengan tip-tip diatas, maka sudah saatnya menyusun draft cerita yang akan ditulis, sehingga penulis akan lebih terbantu dengan memilki acuan dan dapat menulis dengan lebih rapi untuk setiap babnya. 
Namun seringkali kita merasa, menulis fiksi adalah pekerjaan yang bebas, seharusnya tak memerlukan draft baku yang justru akan membatasi imajinasi. 

Ya, itu betul. Imajinasi manusia sungguh tak terbatas dan karena itulah kita perlu membuat batas, yang sebenarnya hanyalah batasan maya. Penulis tentu boleh melanggarnya ketika sudah menemukan navigasi yang jelas untuk luapan imajinasi tersebut. 

Jadi, jangan merasa semua aturan dalam kepenulisan baik fiksi maupun non fiksi akan membatasi kreatifitas kita dalam berkarya. 

Seperti seorang pelaut di lautan lepas, ia tentu memerlukan panduan arah untuk mengarungi lautan tersebut. Begitupun imajinasi, kita butuh navigasi, ya navigasi. Tentu saja kita masih akan menemukan kejutan-kejutan dalam setiap detil perjalanan kreatifitas yang kita kerjakan.

Seperti saya, ide begitu banyak menari-nari di benak saya. Namun, saya butuh trik untuk menangkap salah satunya dan bagaimana mengarahkan ide tersebut lebih jauh lagi menjadi karya yang se-le-sai.






Referensi: Dee Lestari, Sitta Karina, ellenconny dan Agus Noor.&Source Image: Ria Mega Sari







July 13, 2019

Review Buku: Tetsuko Kuroyanagi dan Totto-chan Gadis Cilik di Jendela

by , in
Kisah yang berlatar ketika perang dunia 2 sedang berkobar, jauh di sudut Tokyo ada kehidupan anak-anak yang sangat sederhana dan menyenangkan. Bagaimana mereka belajar bersama Mr. Kobayashi, dengan kurikulum sekolah yang berbeda dari kebanyakan sekolah konvensional, di balik jendela-jendela kelas bekas gerbong kereta.

Hingga Totto-chan memulai dan melalui semua hari-harinya disana, di sekolah Tomoe Gakuen. Tomoe sendiri memiliki arti khusus, yaitu merupakan simbol kuno yang berbentuk koma, dua buah koma berwarna hitam dan putih yang menyatu membentuk sebuah lingkaran. Simbol suatu keseimbangan.

Totto-chan adalah anak yang menggemaskan dengan rasa ingin tahu yang berbeda dari kebanyakan anak seusianya. Mengingatkan saya pada keponakan, cerdas dan lincah. Namun, karena banyak ulah Totto-chan yang unik dan sulit dipahami, ia dikeluarkan dari sekolah dasar. Sekolah dasar lho... dan itu baru kelas satu. Kebayang kan betapa repotnya para guru menanganinya.

Mama akhirnya menemukan sekolah yang cocok untuk Totto-chan tanpa memberi tahu alasan kenapa ia harus pindah ke sekolah yang baru. Karena dampaknya mungkin saja akan membawa trauma buruk untuk anak seusianya, Mama hanya mengatakan ada sekolah yang sangat bagus.

Tomoe Gakuen memang sekolah yang luar biasa, tak ada anak yang tak betah disana kecuali ada beberapa orang tua murid yang merasa cemas akan sistem pengajaran yang diterapkan oleh Mr. Kobayashi. Padahal kepala sekolah hanya ingin anak-anak mampu berkembang dengan selaras antara tubuh dan pikiran mereka. 

Banyak hal menarik yang diajarkan oleh sekolah Tomoe Gakuen, seperti kemandirian dan sopan-santun saling menghargai. Tanpa menimbang perbedaan. Kepala sekolah sangat baik, ia menanamkan pada anak-anak didiknya tentang kepercayaan diri serta tanggung jawab, membuat mereka paham akan hal-hal sulit yang terjadi pada orang dewasa tanpa kehilangan kepolosan anak-anak.
Saya jadi mengenal apa itu euritmik yang diciptakan oleh Emile Jaques Dalcroze atau puisi yang disebut Haiku. 

Tetapi, sangat disayangkan sekolah yang terbuat dari gerbong-gerbong kereta api ini akhirnya terbakar habis oleh bom yang dijatuhkan oleh pesawat pembom B29 Amerika. Warga-warga diungsikan, begitu pula dengan Totto-chan.

Buku Totto-chan Gadis Cilik di Jendela yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi (nama asli Totto-chan) menceritakan masa kecilnya dan kenangan tentang sekolah Tomoe Gakuen. Buku ini mulai ditulis tahun 1979 dan awal terbit di tahun 1981. Edisi terjemahan bahasa Indonesianya bagus sekali dan bahasanya mudah dipahami. Saya bisa merasakan bagaimana kultur orang Jepang semasa itu, yang tak banyak berubah hingga kini.

Ada satu kalimat yang mengesankan saya,

"setiap anak dilahirkan dengan watak yang baik, yang dengan mudah bisa rusak karena lingkungan mereka atau karena pengaruh-pengaruh buruk orang dewasa. Mr. Kobayashi berusaha menemukan watak baik setiap anak dan mengembangkannya, agar anak-anak tumbuh menjadi orang dewasa dengan kepribadian yang khas."


Mr. Kobayashi selalu mengucapkan hal-hal baik kepada muridnya, seperti kepada Totto-chan, "kau benar-benar anak yang baik" lalu menekankan pada kata "benar-benar." Kalimat-kalimat baik sangat berpengaruh bagi tumbuh-kembang anak, sesuai yang ada dalam ajaran Islam, tentang bagaimana seharusnya orang tua bersikap dan berkata pada anak-anaknya.

Buku ini menjadi sangat laris ketika itu di Jepang, dan diterjemahkan pertama kali kedalam bahasa Inggris. Sementara Totto-chan (Tetsuko Kuroyanagi) menjadi begitu populer setelah mengangkat buku ini.

Buku ini sungguh mengesankan, saya jadi mengerti bagaimana pendidikan usia dini sangat mempengaruhi tumbuh-kembang pada anak. Seperti pada Totto-chan, layaknya kupu-kupu cantik yang mengalami metamorfosis sempurna.

Selamat membaca.



July 02, 2019

Kepekaan Seorang Penulis

by , in

Merujuk judul tulisan saya kali ini, saya jadi teringat tentang suatu ketika dimana saya dipermasalahkan karena meletakkan kata 'koreksi' dan 'revisi' pada makna yang berbeda. 

Saya pun membuka KBBI, dan sekilas lalu saat itu saya merasa keliru dan ya udah deh... berusaha berlapang dada menerima kekalahan ketika mencoba berargumen tentang makna dari dua kata tersebut.

Tapi, saya tidak lega begitu saja. Saya yakin sekali bahwa kata 'koreksi' dan 'revisi' diletakkan pada konteks yang berbeda dan masing-masing memiliki spesifikasi.

Saya dan suami mencoba membahasnya, dimulai dengan saya menjelaskan apa yang saya pahami tentang perbedaan dua kata di atas, dan kami berdua mencari beberapa referensi. Kesimpulan kami adalah, dua kata tersebut adalah dua kata yang memiliki kesamaan namun dengan konteks yang berbeda.

Lalu, setelah menganalisis definisi dan tesaurus kedua kata tadi di KBBI, saya menyadari satu hal. Sebetulnya pemahaman awal saya tentang 'koreksi' dan 'revisi' tidak tepat juga sih. 

Ada identifikasi waktu dalam penggunaan dua kata tadi, bukan saja terbatas pada konteks, namun justru akan membentuk konteks. Begini;

*Koreksi artinya Pembetulan, Perbaikan dan banyak lagi||Tesaurus, salah satunya adalah Revisi.
*Revisi artinya Peninjauan (pemeriksaan) kembali untuk perbaikan||Tesaurus-nya adalah Perbaikan.

Kesimpulan saya, peletakan dua kata tersebut seharusnya adalah dikoreksi dulu kemudian direvisi. Revisi adalah bentuk hasil dari proses koreksi.
Kata suami, inilah yang dinamakan kepekaan terhadap makna kata, yang mana seorang penulis harusnya memiliki kepekaan-kepekaan semacam ini. Kepekaan itu misalnya, kepekaan secara teknis;

  1. Kepekaan Berbahasa, yaitu kemahiran dalam menggunakan gaya bahasa, teliti dalam setiap ejaan, kiasan, diksi, juga peletakan paragraf. Saya ambil contoh beberapa penulis favorit saya, seperti tulisan-tulisan DEE, Ayu Lestari, dan Andrea Hirata.                                                                                                                                     
  2. Kepekaan Materi, yaitu bagaimana mengemas materi tulisan dengan gaya kepenulisan dan menghasilkan tulisan yang mudah dipahami dengan pesan-pesan yang tersampaikan. Yang terdapat keseimbangan dan tanpa memaksakan tentunya. Saya rekomendasikan Ahmad Tohari deh, sastrawan ini dapat mengolah materi sederhana menjadi sangat indah dan mudah untuk diresapi dengan gaya kepenulisannya yang khas.

Selain itu pula kepekaan yang tak kalah penting adalah penjiwaan dan kematangan emosional,  sehingga dapat mempengaruhi pembaca. Dan kepekaan terhadap permasalahan-permasalahan sosial terutama di lingkungan sekitar. Karena setiap karya hendaknya mampu membawa sebuah perubahan, paling tidak menjadi sebuah corak pada waktu tertentu.

Nah, untuk bisa terlatih memiliki kepekaan-kepekaan tersebut, sebaiknya kita belajar untuk lebih perduli dengan apa yang terjadi di sekitar lingkungan kita, isu-isu yang menarik minat kita, lebih banyak mengamati, lebih banyak mendengar, lebih banyak lagi membaca, dan terus-menerus latihan menuangkannya dalam tulisan.



Referensi: KBBI, Tulisan Ismail Marahimin,dan Pernyataan Nawal el Saadawi.&Source Image: Pinterest.