THOUGHT&BOOK

June 30, 2019

Review Buku: Cerita Andrea Hirata tentang Orang-Orang Biasa

by , in

Kesan pertama saya ketika membaca bab awal dalam novel ini adalah, tertawa. Lalu, terbayangkan dengan jelas apa yang diceritakan oleh Andrea, dengan begitu mudahnya. 

Sudah lama saya tidak membaca karya penulis asal Bangka Belitung ini, sejak buku tetralogi laskar pelangi menjadi sangat populer ditengah-tengah dunia sastra Indonesia. Andrea Hirata membawa warna tersendiri yang menjadi ciri khasnya dan mengantarkan dunia literasi kita lebih dikenal di dunia Internasional, lewat berbagai penghargaan atas karya-karyanya.
Di buku ini, ia menceritakan tentang kehidupan di sebuah kota yang bernama Belantik, keseharian yang terasa nyata dengan kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya. Dengan sederhana Andrea menggambarkan seluk-beluk rutinitas masyarakatnya, dimulai dari masa kecil segerombolan bocah-bocah yang seringkali menjadi korban bulan-bulanan dari segerombolan bocah-bocah tengik yang berlagak. Hingga mereka beranjak dewasa dan memiliki kehidupan masing-masing, lepas dari bangku sekolah dan berjuang untuk alasan hidup. Waktu tak banyak mengubah nasib mereka, segerombolan bocah-bocah yang diremehkan akhirnya tetap pula menjadi orang-orang yang tak diperhitungkan, begitu pun dengan segerombolan bocah-bocah berandal yang menjadi semakin berandal saja. 

Melalui diksi-diksi yang elok dan renyah untuk dibaca, Andrea mampu mengemas kritik-kritik sosial yang sangat mengena dan sarat makna. Dari maraknya budaya bullying, mahalnya biaya pendidikan,  sulitnya penanganan kesehatan untuk orang miskin, tipikal warga kita yang suka pamer, hingga benih-benih kolusi, juga trik-trik korupsi yang melibatkan beberapa elemen di masyarakat. 

Tapi yang menggemaskan saya adalah klimaks cerita, sungguh menjadi kejutan yang kocak dan menggembirakan. Namun, diluar dugaan. 

Misalnya, saat sekawanan "kacung kampret" merencanakan perampokan pada sebuah bank, bagaimana mungkin segerombolan bocah-bocah yang dulu hingga masa dewasanya masih saja dungu dapat melakukan hal itu dengan hanya mencontoh film-film yang mereka tonton. Atau seorang polisi dengan dedikasi tinggi dan kejujuran yang tak diragukan lagi, dapat terkecoh praktik-praktik kejahatan di kotanya yang terkenal aman tenteram. 

Benar, seperti kata Andrea Hirata, buku ini menceritakan tentang orang-orang biasa. Orang-orang yang biasa kita jumpai setiap harinya, bahkan kita pun termasuk di dalamnya. Judul yang ringan, cover buku yang menarik berwarna kuning dan ilustrasi unik dengan pesan yang tersembunyi namun menggambarkan isi keseluruhan novel ini.

Membacanya pun dapat diselesaikan dalam waktu singkat karena selain memang seru dan bukunya tidak begitu tebal. Saya saja menyelesaikannya sambil bekerja di kantor. Yang kadang membuat heran teman-teman saya, kenapa saya sebentar-sebentar cekikikan.

Selamat membaca, banyak kejutan yang tidak saya ceritakan lho :)






June 23, 2019

Review Buku: The Other Einstein, oleh Marie Benedict

by , in
Saya mau ngomongin perihal sebuah novel memoir THE OTHER EINSTEIN. Ini adalah buku pertama yang berhasil saya baca hingga selesai, dalam tahun ini, setelah beberapa buku yang dibaca secara random dan terabaikan. Tapi saya optimis akan sanggup melebihi target baca dari tahun kemarin. :) 

Buku ini adalah spekulasi tentang kisah lain di balik kehidupan Einstein yang berkilauan, yang nyaris menggeser minat saya terhadap salah satu ilmuwan keren pada abad ke-20 ini. Albert Einstein sesungguhnya telah membungkam ide besar dari sosok Mileva Maric, seorang teman sekelas di perguruan tinggi yang menjadi istri pertamanya dan memberikan Einstein 3 orang anak. Perempuan Serbia yang mendobrak perilaku umum pada masanya, pergi dari wilayahnya untuk menuntut ilmu Matematika dan Fisika di Zurich dan menjadi satu-satunya perempuan dalam komunitas kelas yang terkenal dengan Heinrich Friedrich Weber. 

Mileva tumbuh dengan kecerdasan yang melebihi anak-anak diantaranya, awalnya semua berjalan baik-baik saja seperti harapan Ayahnya, juga harapannya, harapan yang menjadi satu-satunya yang ia miliki sebagai seorang yang kelak akan tumbuh menjadi perempuan pincang yang cacat. Menjadi Ilmuwan dan tidak perlu menikah. 

Akan tetapi, pertemuan dan kedekatannya dengan Einstein menjadi hambatan yang tak mampu ia taklukkan, ia hamil dan melahirkan dan kemudian anak itu meninggal karena demam scarlet, Einstein yang egois tak pernah sekalipun menemui putrinya, walaupun ia bersedia menikahi Mileva. 

"Sains memang membutuhkan orang-orang praktis, tetapi sains juga membutuhkan pemimpi. Sepertinya suamimu jenis pemimpi semacam itu. Dan pemimpi membutuhkan pengurus, kan?"  

Penilaian Marie Curie ini membuat Mileva tersadar, begitu dalam ia telah tenggelam dari permukaan mimpi-mimpi ilmiahnya, dan kenyataan bahwa ia hanyalah seorang ibu rumah tangga yang tak memiliki pengakuan apapun. Sementara Einstein begitu bersinar dengan ide-ide yang ia akui sendiri, karya keilmuan Mileva dicuri secara terang-terangan.

Dokumen-dokumen sejarah telah mencatat Mileva dan Einstein tidak hanya saling tertarik sebagai pasangan kekasih, namun mereka sangat jenius dalam mendiskusikan berbagai hal tentang perkembangan dan perdebatan dunia Fisika ketika itu. Belakangan beberapa fakta ini baru terkuak, namun tidak ada yang menyatakan dengan jelas akan keterlibatan penting seorang Mileva Maric dalam gagasan besar teori Relativitas Albert Einstein tahun 1905 yang dianugerahi Nobel, ataupun pada gagasan-gagasan lainnya.

Meskipun begitu, Marie Benedict menghadirkan perspektif yang berbeda tentang konflik-konflik seorang ilmuwan. Ia meramu rangkaian fakta dan kisah-kisah yang beredar tentang kehidupan pasangan ini kedalam sebuah novel fiksi yang memperjelas keberadaan sosok Mileva Maric. Tentu saja kisah ini menjadi sangat khas bagi perempuan, dimana kekuatan perempuan justru akan tumbuh ketika harus menekan perasaannya sendiri dan mengutamakan anak-anak dan keluarganya. Dimana harga diri tidak lagi menjadi urutan prioritas, namun pada titik tertentu, momentum selalu memecah waktu yang seakan membeku, dan titik tolak atau titik balik menjadi bagian yang tak terpisahkan.

Novel ini cukup menarik untuk dibaca, dan mudah untuk diselesaikan. Selamat membaca :)
June 08, 2019

Pagi dan Hujan

by , in

Hujan semalam, membaui bumi menjadi begitu basah. 
Dini hari telah turun di balik cahaya yang kedinginan, kumatikan lampu, berkas-berkas sinar sayup merambat pada renggang dinding-dinding rumah. 
Kulihat bayanganku mendekati jendela, menyibak tirainya yang lusuh lalu menghela udara yang semerbak. 

Segar dan aroma kabut tipis. 

Bulir-bulir hujan membentuk irama dan warna pada rerumputan yang menjadi seperti menari-nari. 
Kurasa, kali ini hujan begitu betah berlama-lama di halaman rumahku, hujan tak tampak ingin mereda, namun aku tak akan kemana-mana minggu pagi ini.

Kupejamkan mata mencoba larut dalam aliran hujan pada tanah yang kecoklatan, aku bercengkerama dalam benak, di sana kulihat langit yang memutih menyatu bersama awan-awan. 

Hidup begitu sederhana pagi ini. 

Suara air tertuang dalam gelas kaca di tanganku, aku meneguknya seolah teramat sangat kehausan, bukan, bukan. 
Aku hanya benar-benar menyukai rasa air putih, melihatnya dalam gelas-gelas bening membuatku bersemangat dan melupakan rasa manis secangkir coklat hangat, atau juga secangkir teh melati, atau kopi pagi. 


Air putih saja cukup.
Cukup sederhana, seperti pagi dan hujan.




*)sourceimage: riamegasari