THOUGHT&BOOK

Hannaya #ceritatiga


Air seperti ditumpahkan dari langit, kudengar suara gaduh menimpa atap rumah, diiringi angin bertiup menyusupkan udara yang semakin dingin. Kata pemilik kamar ini, ia sedang memperbaiki pemanas ruangannya, “silahkan saja nona duduk di depan perapian sembari menikmati seduhan kopi,” wanita yang sangat ramah, ia menyediakan selimut tebal dan segelas kopi di atas meja kecil.

Aku sengaja tidak menginap di hotel yang bagus di desa ini, aku ingin benar-benar merasakan kehidupan sehari-harinya. Dan pilihanku berjodoh dengan rumah wanita ini.  Di rumahnya hanya memiliki satu kamar yang bisa disewa, walaupun rumahnya sangat sederhana untuk ukuran disini, tapi bagiku ini sungguh menyenangkan. Nyoya Melinda, ia juga memiliki sebuah kafe kecil di depan rumah, tak banyak yang datang, karena yang biasanya datang adalah orang-orang dari jauh yang mencari ketenangan.

Mencari ketenangan, barangkali akupun demikian. Sejauh ini. Membiarkan rintik-rintik hujan yang membuat kaca jendela kamarku berkabut. Teh hangat dengan kepulan asap tipis di meja makan, ibu tak pernah alpa menyediakan seteko teh—yang berasal dari lereng-lereng perbukitan dengan wangi melati—dan sepiring pisang goreng. Apakah disana aku tak menemukan ketenangan, atau aku sedang berada ketika ketenangan justru menjadi kenangan yang mengusik? Aku tak akan lupa sorot lembut tatapan ibuku, kelakar ayah dan keriuhan adik-adikku, serta keponakanku yang cerdas dan lucu. Semua itu membuatku terlalu nyaman, datang menjadi inspirasi di tiap hariku. Namun, inspirasi itu menjeratku dalam sebuah ketenangan yang pada akhirnya berubah menjadi gangguan khusus untukku. Ketenangan dan kenangan, kenyamanan dan keterusikan, mestinya adalah suatu keseimbangan. Lantas aku menyadari bahwa aku butuh gejolak, aku butuh dinamika yang tidak dinamis, hujan badai yang menghanyutkan beribu harapan untuk tumbuh melaju disuatu hari depan.

Ya, perjalanan ini sangat melelahkan. Namun, aku belum tiba pada pencarian yang kukira. Blockwriter yang akut. Mereka bilang begitu, sahabat-sahabatku seringkali mengingatkanku, mereka memberi banyak masukan dan support yang akan selalu kukenang dikemudian hari. Tetapi, saat ini yang kuinginkan bukanlah kutub positif dimana akan membuatku terprogram untuk berpikir bahwa semua senantiasa baik-baik saja. Atau aku menginginkan pula kutub negatif untuk membuat lingkaran medan magnetik yang mampu menarikku dalam pusaran itu sehingga kembali berdenyut. Tidak. Harusnya ada kutub alternatif, dimana persoalan bukan hanya soal hitam dan putih, dan mengabaikan batas abu-abu. Bahwa suatu ledakan serta gebrakan tidak hanya akan membawa kerusakan atau ketimpangan.

Entahlah, aku tak bisa menjelaskan dengan baik apa yang ada di kepalaku. Apakah suara-suara ini yang kerapkali memanggil-manggil Virginia Woolf? Atau sebuah kesadaran yang menguasai Mary Shelley…

Ah, aku tiba-tiba merasa begitu sepi.

Kudengar derap langkah yang perlahan mendekatiku, aku tak ingin menoleh atau mengetahui sedikitpun siapa yang akan datang. Perapian telah padam, ada berkas sinar menyusup dari balik tirai putih yang tipis. Udara dingin menyergap, kurapatkan selimut tebal yang masih menutupi tubuhku.

“Nona…?”
“Ya, madam?”
“Apakah anda akan berkeliling pagi ini? Di luar sedang turun hujan gerimis, anda bisa menggunakan payung di depan kafe.”
“Ide yang menarik,”
“Begitulah, disini hujan gerimis tak pernah menjadi hujan yang lebih deras. Jadi suasana danau pasti lebih indah nona.”

Kemudian, nyonya Melinda meletakkan nampan kayu berukir yang berisi secangkir kopi dan donat kentang. Kini aku sudah benar-benar memperhatikannya, oleh karena aroma kopi yang begitu khas. Membuatku rindu pada Indonesia.


Aku melangkah menuju jendela yang tak cukup besar, kusibak tirainya, kaca jendela yang berembun, dan kulihat angsa-angsa yang menyambut pagi tanpa gundah. Benakku mengajukan tanya, “mungkinkah ini sebuah pelarian yang tak sanggup aku terjemahkan?”



*)source image: canva & pinterest

No comments:

Post a Comment