Air seperti ditumpahkan dari langit, kudengar suara gaduh menimpa
atap rumah, diiringi angin bertiup menyusupkan udara yang semakin dingin. Kata
pemilik kamar ini, ia sedang memperbaiki pemanas ruangannya, “silahkan saja
nona duduk di depan perapian sembari menikmati seduhan kopi,” wanita yang sangat
ramah, ia menyediakan selimut tebal dan segelas kopi di atas meja kecil.
Aku sengaja tidak menginap di hotel yang bagus di desa ini, aku
ingin benar-benar merasakan kehidupan sehari-harinya. Dan pilihanku berjodoh
dengan rumah wanita ini. Di rumahnya
hanya memiliki satu kamar yang bisa disewa, walaupun rumahnya sangat sederhana
untuk ukuran disini, tapi bagiku ini sungguh menyenangkan. Nyoya Melinda, ia
juga memiliki sebuah kafe kecil di depan rumah, tak banyak yang datang, karena
yang biasanya datang adalah orang-orang dari jauh yang mencari ketenangan.
Mencari ketenangan, barangkali akupun demikian. Sejauh ini. Membiarkan
rintik-rintik hujan yang membuat kaca jendela kamarku berkabut. Teh hangat
dengan kepulan asap tipis di meja makan, ibu tak pernah alpa menyediakan seteko
teh—yang berasal dari lereng-lereng perbukitan dengan wangi melati—dan sepiring
pisang goreng. Apakah disana aku tak menemukan ketenangan, atau aku sedang
berada ketika ketenangan justru menjadi kenangan yang mengusik? Aku tak akan
lupa sorot lembut tatapan ibuku, kelakar ayah dan keriuhan adik-adikku, serta
keponakanku yang cerdas dan lucu. Semua itu membuatku terlalu nyaman, datang menjadi
inspirasi di tiap hariku. Namun, inspirasi itu menjeratku dalam sebuah ketenangan
yang pada akhirnya berubah menjadi gangguan khusus untukku. Ketenangan dan
kenangan, kenyamanan dan keterusikan, mestinya adalah suatu keseimbangan. Lantas
aku menyadari bahwa aku butuh gejolak, aku butuh dinamika yang tidak dinamis, hujan
badai yang menghanyutkan beribu harapan untuk tumbuh melaju disuatu hari depan.
Ya, perjalanan ini sangat melelahkan. Namun, aku belum tiba pada pencarian
yang kukira. Blockwriter yang akut. Mereka
bilang begitu, sahabat-sahabatku seringkali mengingatkanku, mereka memberi banyak
masukan dan support yang akan selalu
kukenang dikemudian hari. Tetapi, saat ini yang kuinginkan bukanlah kutub
positif dimana akan membuatku terprogram untuk berpikir bahwa semua senantiasa
baik-baik saja. Atau aku menginginkan pula kutub negatif untuk membuat
lingkaran medan magnetik yang mampu menarikku dalam pusaran itu sehingga
kembali berdenyut. Tidak. Harusnya ada kutub alternatif, dimana persoalan bukan
hanya soal hitam dan putih, dan mengabaikan batas abu-abu. Bahwa suatu ledakan
serta gebrakan tidak hanya akan membawa kerusakan atau ketimpangan.
Entahlah, aku tak bisa menjelaskan dengan baik apa yang ada di kepalaku.
Apakah suara-suara ini yang kerapkali memanggil-manggil Virginia Woolf? Atau sebuah
kesadaran yang menguasai Mary Shelley…
Ah, aku tiba-tiba merasa begitu sepi.
Kudengar derap langkah yang perlahan mendekatiku, aku tak ingin
menoleh atau mengetahui sedikitpun siapa yang akan datang. Perapian telah
padam, ada berkas sinar menyusup dari balik tirai putih yang tipis. Udara dingin
menyergap, kurapatkan selimut tebal yang masih menutupi tubuhku.
“Nona…?”
“Ya, madam?”
“Apakah anda akan berkeliling pagi ini? Di luar sedang turun hujan
gerimis, anda bisa menggunakan payung di depan kafe.”
“Ide yang menarik,”
“Begitulah, disini hujan gerimis tak pernah menjadi hujan yang
lebih deras. Jadi suasana danau pasti lebih indah nona.”
Kemudian, nyonya Melinda meletakkan nampan kayu berukir yang
berisi secangkir kopi dan donat kentang. Kini aku sudah benar-benar memperhatikannya,
oleh karena aroma kopi yang begitu khas. Membuatku rindu pada Indonesia.
Aku melangkah
menuju jendela yang tak cukup besar, kusibak tirainya, kaca jendela yang
berembun, dan kulihat angsa-angsa yang menyambut pagi tanpa gundah. Benakku mengajukan
tanya, “mungkinkah ini sebuah pelarian
yang tak sanggup aku terjemahkan?”
*)source image: canva & pinterest
*)source image: canva & pinterest
No comments:
Post a Comment