THOUGHT&BOOK

Hannaya #ceritalima


Aku menyimpan kegelisahan pada batas abu-abu yang kusentuh, dan seringkali kegelisahan itu mempengaruhi beberapa keputusan yang kusikapi, dan adakalanya tindakan-tindakanku bak kalimat rancu. Tepatnya, aku tak pernah benar-benar memiliki pemikiran sendiri, aku terbawa kemana saja situasi yang terjadi padaku. 

Semasa kuliah, aku tumbuh menjadi aktivis kampus yang kerap mengkritik kebijakan elemen pemerintahan yang diterapkan atau ketika mereka justru melanggarnya sendiri, atas nama perjuangan kami untuk alam dan lingkungan hidup. Kami, ya, aku dan organisasi kampus yang kugeluti.

Aku lulus melampaui waktu pada umumnya, aku terlalu asik dengan euphoria pergaulan sesama aktivis kampus dan kecintaanku pada pendakian gunung.

Mungkin yang terjadi padaku hanyalah semacam kamuflase dari idealisme yang menebar pada saat itu, dimana reformasi sedang mulai tumbuh menjadi balita. Tak jarang pemerintah masih begitu represif, beberapa kawan seperti mengalami kecanduan sehingga seolah biasa saja bolak-balik penjara. Bermalam barang sehari-dua, namun ide-ide itu tak membuatku mampu melihat persoalan yang sebenarnya.

Masih kuingat, dengan kepolosan anak pinggiran kota memasuki kampus dan melihat satu simbol yang identik dan dominan dibeberapa kalangan mahasiswa yang kutemui. “Itu lambang apa seperti daun singkong? Lalu gambar siapa itu?” belakangan aku mengetahui apa yang selama ini selalu kupertanyakan, lambang rasta, warna-warni rasta dan seseorang yang bernama Che Guavara. Ketika itu aku telah mulai bersentuhan dengan kehidupan malam yang diisi dengan rapat-rapat koordinasi berbagai kegiatan gerakan.

Menjadi mahasiswa membuatku memiliki identitas, yang sesungguhnya juga tak kukenali. Kemudian aku berkembang dengan kontaminasi yang akut dari ideologi yang kuperjuangkan selama aktif sebagai pengurus organisasi, yaitu penolakanku untuk terlibat dalam segala bentuk pengrusakan lingkungan.

Aku menghindari peluang pekerjaan-pekerjaan di sektor pertambangan dan perkebunan sawit. Sekalipun, Ayah menyekolahkan aku dan adik-adikku dengan bekerja di perusahaan kayu lapis dan pertambangan. Bahkan, ada support dana dari beberapa senior organisasi yang juga membuka lahan tambang. Kami memang terpecah tak kasat mata, dimana kami berjuang menolak pertambangan yang semakin meluas tak lagi bijak terhadap alam dan lingkungan, diantaranya pula beberapa dari kami justru terjun menentang dalam diam. Idealisme yang awalnya mengalir deras entah bagaimana menjadi aliran-aliran beku dan hilang begitu saja.

Namun, ada satu ikatan yang membuat kami tak saling menuding, yaitu persaudaraan tanpa syarat.

Ironi?

Ironi menjadi sebuah kiasan antitesis yang khusus hadir dalam setiap kehidupan, kita tak perlu kompromistis, terus saja berlawan namun berjalan beriringan. Aku menyadarinya di sepanjang kehidupan yang kulalui, saat aku berkubang di dalamnya atau ketika hanya berperan mengamati, ironi menjadi semacam benturan yang tak terhindari.

Lantas apakah hidup memang penuh ironi?

Kadang akupun berpikir, sikap realistis pun menjadi sebuah ironi yang lain. Elemen yang sama dalam sebuah ruang, namun tentu saja bukan menjadi satu kesatuan pasangan yang menciptakan realitas atau identitas. Kita hanya perlu bergejolak, ketika nurani kita tersentak, disitulah kemampuan melihat ironi sebagai genderang perang tersingkap. Menghadirkannya untuk menantang diri sendiri.

Ah, aku justru sepakat jika ironi sangatlah kontradiktif ketimbang hanya menjadi sebuah antitesis. Bukan sekedar kiasan, namun begitulah, semua menjadi unsur-unsur yang membuat kehidupan terasa ada dan nyata.

Bagiku, idealisme kami semasa kuliah seperti sebuah paradoks disaat semua orang butuh pengakuan dan keakuan. Akupun, tidak benar-benar menjadi seperti apa yang kugaung-gaungkan, aku hanya melewatinya sebagai sebuah proses masa muda menuju kehidupan selanjutnya yang entahlah.

Kemudian Dipo Ariangga menghampiriku dengan segala mimpi-mimpinya tentang perdamaian dalam setiap sendi-sendi kehidupan, mulanya kami menemukan dunia yang sama, buku-buku dan diskusi panjang yang selalu menarik hingga akhirnya menjadi candu untuk kami selalu bertemu dan bertemu. Bukannya kami tak pernah mengantisipasi bahwa dunia kami yang bersisian bahkan beririsan justru akan bergesekan menimbulkan friksi, aku tahu Dipo cukup moderat dan ia pun mengerti bahwa aku sepertinya tak pernah benar-benar satu dengan apa yang orang lihat tentangku, oh aku hanya ikut-ikutan. Aku sadar label itu melekat padaku, bahkan kukira juga begitu.
*
Hujan sedari pagi kian menderas, ruas-ruas jalan begitu basah. Air hujan mengaliri dataran yang menurun dan terdengar riuh aliran selokan di bawah-bawah jalanan utama. Tak tampak payung-payung atau satupun kendaraan yang melintas, kopi hitam yang kusesap lekas menjadi dingin oleh lamunanku yang melayang di langit yang memutih.

Aku teringat nyonya Melinda pernah bercerita padaku, pernah suatu ketika di musim salju yang dingin, seorang gadis cantik berasal dari London tinggal di rumahnya beberapa malam. Kala itu Hallstatt yang diselimuti salju memutih seperti negeri dalam dongeng animasi Walt Disney, gadis itu datang sendiri bukan untuk berlibur, ia mengatakan sedang lari dari segala persoalan yang membuatnya sempat mengalami depresi berat, nyonya Melinda tak keberatan ia tinggal lebih lama di rumahnya. Namun setelah beberapa hari ia memutuskan kembali ke London, pagi itu sang gadis lebih bersemangat dan tersenyum, “nyonya, aku harus kembali dan menyelesaikan semua persoalan ini. Keheninganku disini memberi sedikit jarak yang membuatku memahami satu hal, semesta telah memilihku untuk terlibat dalam hal yang paling kuhindari.” Sang gadis mengecup kedua pipi nyonya Melinda di tepi danau, dingin yang menusuk membuat pipi mereka bersemu.

Salzburg yang basah, hujan itupun seperti jatuh dalam cangkirku. Apa yang harus kulakukan? Tanya itu mengambang memenuhi kota ini, bergema pada gedung-gedung tuanya, berusaha menjelma dalam tangga nada yang pernah diciptakan oleh Mozart.

Hm, hidup ini adalah kumpulan waktu dan peristiwa yang akan terjadi seperti yang seharusnya terjadi. Mungkin aku tak perlu sembunyi. Aku adalah realitas dan yang kualami hanyalah sebuah ironi. Toh danau tenang sekalipun pernah bergejolak pada suatu masa, lalu kembali tenang sesuai urutan waktu.

 “Jangan ragu.” Nyonya Melinda berbisik padaku kali terakhir aku bertemu dengannya, sore itu. Ia tersenyum padaku, dan aku terpaku menatapnya. Tanpa kusadari ia telah menjauh meninggalkan dermaga.


*)source image by canva design.

2 comments: