THOUGHT&BOOK

Hannaya #ceritaempat


Aku berkemas, lima belas menit lagi nyonya Melinda akan mengingatkanku untuk segera menyeberangi Hallstatter See. Kusempatkan membuka laptop dan mengecek email, tak ada email masuk yang berarti. Tak ada email yang kutunggu-tunggu selama satu bulan ini, aku menghela nafas kembali gundah. Akupun segera beralih membuka salah satu website, berharap menemukan apa yang kucari, dan, benar saja. Namaku tidak tercantum dalam daftar nama penulis terpilih pada sebuah ajang internasional yang pernah ku ikuti. Pemberitahuan itu baru saja diposting, dan nama-nama penulis muda yang mulai mengenalkan karyanya, mereka mampu menggeser namaku. Kegundahan itu membuat sekujur tubuhku melemah, kelesuan terbit begitu saja.

Kabut turun selepas gerimis membersihkan udara, angsa-angsa kembali riuh berenang menjelang sore. Alunan nada Mozart, dan perapian yang meredup. Kutatap sebentar tebing tinggi yang kokoh, tampak samar oleh kabut. Desa ini seperti terjebak, begitu terpencil bak dongeng tua dengan para penambang garam di dalam gunung-gunung besar.

Jika tempat ini tak jua membuat darahku kembali mengalir, mungkin aku tak butuh ketenangan itu. Sejauh apa aku menepi, mungkin jurang kelam itu bersarang dalam dadaku, jadi tak ada guna beribu-ribu keindahan dan keselarasan yang coba kureguk.

Kulangkahkan kakiku dengan berat, nyonya Melinda sudah menunggu. Entah kemana setelah ini, aku masih seperti mengambang, kekecewaan tadi melengkapi kekosongan ini.


*)source image: canva&pinterest

No comments:

Post a Comment