THOUGHT&BOOK

Framing


Aku melompat turun dari tembok dengan gusar, “woi! siapa disana!” teriakan itu terasa sangat dekat, memicuku untuk berlari secepat mungkin menerabas semak-semak menuju jalan raya. Dalam keremangan malam disinari cahaya bulan separuh di langit yang pekat, detak jantung berdegup kencang mengiringi setiap lompatanku ketika melewati bebatuan di jalan setapak, beruntung aku tidak tersandung. Di balik sebuah pohon yang cukup besar untuk menutupi tubuhku, aku berhenti sejenak mengatur sedikit pernafasan dan memejamkan mata, karena malam semakin pekat aku harus mengatur cahaya yang bisa masuk dalam penglihatan manusia. Ini semacam orientasi untuk kornea mata, dari tempat yang cukup terang kemudian memasuki kegelapan. 
Gedung yang menjadi kantor Berita Indonesia itu sudah tampak sepi, namun pada satu ruangan terlihat cahaya yang terang. Aku memasuki beranda gedung dan menyapa sebentar pak Dullah yang ketika itu sedang berjaga, ia mengatakan Handry masih bekerja di mejanya. Kulirik arloji di tangan kiri yang sudah menunjukan pukul 22.03, apa yang sedang dikerjakan jurnalis slenge’an itu, apakah ia sedang mengejar deadline? Tapi setahuku ia tidak suka bergadang di kantor. Ah, sudahlah! Aku berlari kecil menaiki tangga menuju ruang kerjaku. Dengan nafas yang masih sedikit terengah-engah dan kekhawatiran yang tersisa, tersadar olehku tindakan tadi cukup konyol. Lalu tiba-tiba saja Handry sudah menarik lenganku ketika memasuki pintu ruangan, “hei, apaan sih!” aku melepaskan cengkeramannya setelah tiba di depan meja kerja kami. “Baca nih,” ia memutar arah monitornya menghadapku. Dan aku membaca satu artikel pendek yang membuat jantungku kembali melaju, “Bowo diserang orang-orang bertopeng selepas Isya tadi? Kamu turun meliput Han?” berondongku sekenanya. “Lha itu artikelku yang barusan aku post di website Berita Indonesia,” aku hanya menatapnya dengan nanar. Aku tidak menyangka bahwa kebenaran dari analisa kami terjadi begitu cepat. 

Bowo Pranowo adalah seorang ahli hukum dan aktivis Hak Asasi Manusia yang sangat vokal dan berani, beberapa kasus berhasil ia ungkap dan menyeret beberapa petinggi Negeri ini. Itu membuat pekerjaannya semakin berbahaya, ia kerap diteror dengan berbagai cara namun baru kali ini langsung melukai secara fisik. Bahkan terakhir kali wawancara Handry bersama Bowo Pranowo, ia dengan terang-terangan menceritakan peringatan halus dari seorang perwira kepolisian yang sesungguhnya mengandung ancaman. Dan dalam beberapa tahun terakhir, sosok dan sepak terjangnya menjadi pembicaraan khalayak luas. Bowo menurutku lebih terkesan menantang bahaya. Aku bergidik mengingat setiap aksi demonstrasi dan caranya menyampaikan kritikan pada pemerintah. dimanapun ada kesempatan di hadapan publik, sangat berapi-api dan tak terbantahkan. Seminggu yang lalu aku bersama rekan-rekan jurnalis sempat berbincang, ketika Bowo muncul di laman website utama untuk kasus-kasus HAM tingkat berat di dunia. Ia mengatakan akan segera membeberkan beberapa bukti yang mendekati terungkapnya kasus pembunuhan Bayu Anggara. “Gak lama nih bang Bowo bakalan dimangsa habis-habisan” komentarku memecah ketegangan kami setelah menyimak artikel utama tersebut. “ini nih! yang Rakyat Indonesia butuhkan Dre, yang gak takut berbicara pada seluruh dunia walaupun selalu diteror dan diancam,” Handry menimpali dengan antusias. “Kita lihat saja nanti. Saya sebetulnya takut, setiap kali menyaksikan tindakannya yang terlalu nekad. ” Gading menambahkan dan kemudian memandangi kami bergantian, lalu pergi. 

Gading sempat bertugas meliput seputar kasus Bayu Anggara beberapa tahun pertama, sebelum akhirnya ia beralih profesi sebagai jurnalis foto. Gading pernah bicara padaku, bahwa kasus Bayu Anggara adalah kasus para Jenderal, tidak mudah diselesaikan walaupun bukti-bukti yang terungkap sudah mengarah. Munculnya orang yang dituding sebagai pelaku dan kemudian ditindak pidana hanyalah trik mengelabui publik. Seolah-olah kasus itu telah selesai dan masyarakat Indonesia menjadi lupa. Bukan waktu yang sebentar, lima belas tahun yang lalu Bayu Anggara terbunuh dalam perjalanan menghadiri konferensi Dunia untuk membahas kasus-kasus pelanggaran HAM di Negara-negara berkembang. Dan ketika Ariadi memintaku untuk mengikuti perkembangan kasus ini, meliput apa saja yang berkaitan bahkan sekecil apapun hal tersebut, aku langsung menyambutnya dengan senang hati. Wajar saja beliau memiliki perhatian khusus terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia, karena beliau adalah sahabat dekat Bayu Anggara, dan pada masa orde baru kantor berita ini sempat dibredel. 

“Mbak, tadi malam saya melihat langsung pak Putra Wicaksono bertemu dengan Bambang Prabu. Entah apa yang mereka bicarakan, tetapi mereka memilih tempat yang sangat tertutup?” aku berbicara lebih pelan dan mencondongkan tubuhku mendekati posisi duduk mbak Wuria, iapun mendengarkan dengan hati-hati. 

“Bagaimana kamu bisa mengikuti mereka Dre?” aku terdiam sebelum menjawab pertanyaannya, ingatanku melayang pada malam itu. Selepas magrib aku pulang dari kantor dan ada rencana makan malam di rumah istri mendiang Bayu Anggara, perjalanan menempuh sekitar 10 menit dengan mengendarai sepeda motor, namun pada jarak 100 meter sebelum aku tiba, tampak beberapa mobil terparkir di sisi jalan. Tempat itu sangat sepi dan gelap. 

“Beruntung kamu berhasil lolos Dre, kalau tidak kamu bisa didor” seloroh mbk Wuria masih dengan suara pelan. 

“Memangnya jaman orde baru mbak.” Aku menghela nafas agak ngeri juga. 

Tiba-tiba percakapan kami terhenti karena kedatangan Handry Atmaja, dari wajah teman sekantorku itu tampak amat sangat kusut. “Andrea Endian dan Wuria Asary, ada apa kalian memanggil saya kemari?” suaranya yang tengil memaksakan diri untuk tersenyum. “Ada yang perlu kita bahas Han,” sahut mbak Wuria datar. Aku tahu Handry sejak tadi malam sangat sibuk dengan liputan kasus terbaru Bowo Pranowo, tetapi karena itulah kami perlu membicarakannya. 

“Jadi, kalian merasa dua orang pejabat penting itu ada di balik kasus Bowo Pranowo?” sergah Handry sebelum sempat aku menyelesaikan cerita yang tadi kusampaikan pada mbak Wuria. 

“Tepat sekali! Karena rentang waktunya cukup dekat dan jenderal yang satu ini seringkali muncul dalam tulisan Andrea terkait kasus Bayu Anggara.” Pungkas Wuria. 

Kami bertiga saling pandang. Sebagaimana kami sama-sama mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Dan kepada siapa seharusnya kami mengarahkan kecurigaan. Selang beberapa menit keterdiaman kami, handphone Handry bergetar, ia meraihnya dari saku jaket. Sementara aku masih hanyut dalam analisa yang rumit dikepalaku, tanpa perduli ekspresi Handry yang tiba-tiba saja berubah. Kemudian ia berdiri dengan tergesa dan meraih ranselnya, “Dre, kita ketemu di rumah sakit pusat ya, Bowo Pranowo ditemukan tewas tanpa jejak pelaku sedikitpun” aku dan mbak Wuria belum sempat berkata sepatah kata apapun ketika sosok Handry sudah menjauh dari pandangan kami. Kepalaku mendadak berdenyut, kejadian dalam 24 jam ini terjadi seperti tokoh superhero flash yang berlari kencang. 
** 
Sore itu aku menemui Handry di teras rumahnya, “Han,” sapaku singkat dan ia menyilakanku duduk. “Dre, saya mundur dari Berita Indonesia” Aku sudah mengetahui hal ini, secara singkat, Ariadi menjelaskan duduk persoalan itu sebelum aku menemuinya. Aku diam memandangi kaki meja, pikiranku menebak-nebak apa yang membuat jurnalis bandel ini melakukan hal yang tak pernah sama sekali kami singgung. Ia bukan orang yang mudah menyerah.

“Ke…” 

“Pak Ariadi meminta saya berhenti Dre,” Handry memotong kalimatku yang belum selesai dengan suara serak. Matanya berkaca-kaca. 

Kuamati seluruh reaksi tubuh itu, Handry dalam keadaan shock. Aku terkejut mendengar itu, “kenapa?” semakin tajam kutatap kedua bola matanya. 

“Pembunuhan Bowo Pranowo menjadi sangat rumit. Jika saya meneruskan semua liputan dan melaporkan segala bentuk investigasinya, imbas selanjutnya akan mengancam saya dan kantor berita kita.” 

“Apa yang sebetulnya kamu ketahui?” 

“Itu yang dikatakan pak Ariadi Dre, bukan alasan saya.” 

“Apakah kamu sudah semakin dekat dengan bukti-bukti pembunuhan?” aku mencoba menganalisa. 

“Ya.” Jawabnya singkat dan gugup. 

Mendadak ia terisak membuat tubuh itu bergetar menahan tangisan yang lebih keras. Aku mendekatinya, kuraih segelas air putih di meja dan kusodorkan padanya. 

“Tenang Hen, aku yang akan meneruskan liputan ini. Mungkin aku bukan wartawan yang berbahaya sepertimu, akan mencurigakan jika tiba-tiba berita Bowo Pranowo mendadak kita stop.” 

Mendadak aku paham, mengapa Ariadi memilihku menggantikan Handry. Kukira selama ini masih pada batas kewajaran, setiap kali wawancara dan tulisanku yang dimuat mengkuti arahannya. Ariadi Wicaksono. Kepala Redaksi Berita Indonesia. Memang mulanya aku keberatan, tapi kukira alasan Ariadi ada benarnya. Untuk mengikuti kasus Bayu Anggara kita harus tampak bersahabat dengan semua pihak, kasus ini harus tetap ditulis namun terkontrol. Begitu selalu Ariadi mengingatkanku. 

“Aku mencemaskan sesuatu yang buruk bisa saja terjadi. Dre. yang kutemukan adalah dua korelasi fakta, antara kasus Bowo dan Bayu.” Ia menyeka sisa-sisa air matanya dan meneguk air putih yang tadi kusodorkan. 

“Ariadi sengaja memancingmu masuk ke dalam kasus ini, dengan begitu ia lebih mudah menutup dua kasus sekaligus dan menekan efek negatif seminim mungkin terhadap Berita Indonesia. Kemudian ia menyingkirkan kamu sama seperti saya, ketika sudah tidak layak lagi untuk dipelihara.” 

Ia meneruskan perkataannya dengan pandangan yang kosong dan nada suara yang sinis. 

“Tentu saja, karena ia masih berpikir saat ini lebih bisa mengendalikan saya ketimbang kamu.” 

Kami berbarengan memandangi pohon mangga yang sedang berbunga, ada kegeraman yang sama. 
*** 
Malam itu Wuria menungguku dikantornya, ada yang ingin ia sampaikan dan kebetulan pula aku ingin bertemu dengannya. Ia adalah sekjen salah satu organisasi penting yang selalu berdiri bersama korban-korban tindak pelanggaran HAM di Indonesia. 

“Dre, kecurigaan kami spesifik mengarah kepada Bambang Prabu sebagai dalang dibalik pembunuhan Bowo.” Ia berbicara sangat pelan setengah berbisik, pikiranku mendadak semakin berkecamuk saja. 

“Bagaimana mbak Wuria bisa yakin?” ia lalu menunjukan secarik kertas yang sudah diremas-remas. Ada beberapa nama yang tertulis di sana dan aktivitas rutin Bowo Pranowo, yang mencurigakan adalah kronologi singkat perjalanan Bowo dari sebuah acara yang ia hadiri sesaat sebelum kejadian penyerangan terhadapnya, pada kertas itu juga dituliskan alat penyerangan dan habisi saja. Jantungku seakan berhenti berdetak ketika selesai membaca secarik kertas tersebut. 

“Dimana mbak menemukan secarik kertas ini?” Tanyaku setelah bisa menguasai diri kembali. Wuria lalu menceritakan bahwa kertas itu diberikan oleh istri Bowo ketika mereka melayat tadi siang, itu ia temukan disaku celana suaminya. 

“Tapi ini tidak membuktikan apa-apa tentang keterlibatan Bambang Prabu mbak,” Wuria menarik tubuhnya dan bersandar pada tembok. 

“Inisial itu ditulis dengan sangat khas Dre, saya bahkan memiliki testimoni yang pernah ditulis tangan oleh Bambang Prabu ketika perayaan ulang tahun organisasi ini. Sangat mirip. 

“Lalu apa yang bisa kita lakukan dengan bukti yang tidak lengkap ini?” sahutku dingin, aku mulai merasa tertekan. 

“Mbak, Bambang Prabu itu adalah perwira tinggi Kepolisian yang sangat dekat dengan orang-orang kepercayaan Presiden, mbak ingin saya menulis ini?” dan aku menjadi gusar. 

”Entahlah! apa yang terjadi pada kalian? Handry pun menolak untuk membicarakan hal ini.


” Wuria mulai tampak kesal dan menatapku penuh selidik. Aku tidak perduli. “Handry sudah mengundurkan diri dari Berita Indonesia.” Ia membelalakan matanya dan berdiri tegak dihadapanku, “kalian menyembunyikan sesuatu?” kali ini aku terlihat menghindar dan Wuria tajam menangkap hal itu. 

“Hei! coba kalian berdua baca ini.” Seorang anggota organisasi lainnya tiba-tiba mendekati mereka, Azhar setengah berteriak lalu memperlihatkan layar tablet-nya kepada kami berdua, salah satu judul berita yang muncul di laman utama google chrome menuliskan; Handry Atmaja Gantung Diri Setelah Ditemui Oleh Andrea Endian, Keduanya Merupakan Wartawan Yang Dipecat Karena Diduga Menutupi Bukti-bukti Kematian Bowo Pranowo. 
****



*)source image by google, pinterest

4 comments:

  1. Wah seru kak, ini bakalan berlanjut gak?

    ReplyDelete
  2. gak kayaknya... ini aja berasa garing bacanya, sy merasa terlalu memaksakan alur dan tema... perlu belajar banyak hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yup gpp kak aku juga lagi coba2 belajar bikin fiksi hehe jdi cerita

      Delete