THOUGHT&BOOK

May 25, 2019

Hannaya #ceritalima

by , in

Aku menyimpan kegelisahan pada batas abu-abu yang kusentuh, dan seringkali kegelisahan itu mempengaruhi beberapa keputusan yang kusikapi, dan adakalanya tindakan-tindakanku bak kalimat rancu. Tepatnya, aku tak pernah benar-benar memiliki pemikiran sendiri, aku terbawa kemana saja situasi yang terjadi padaku. 

Semasa kuliah, aku tumbuh menjadi aktivis kampus yang kerap mengkritik kebijakan elemen pemerintahan yang diterapkan atau ketika mereka justru melanggarnya sendiri, atas nama perjuangan kami untuk alam dan lingkungan hidup. Kami, ya, aku dan organisasi kampus yang kugeluti.

Aku lulus melampaui waktu pada umumnya, aku terlalu asik dengan euphoria pergaulan sesama aktivis kampus dan kecintaanku pada pendakian gunung.

Mungkin yang terjadi padaku hanyalah semacam kamuflase dari idealisme yang menebar pada saat itu, dimana reformasi sedang mulai tumbuh menjadi balita. Tak jarang pemerintah masih begitu represif, beberapa kawan seperti mengalami kecanduan sehingga seolah biasa saja bolak-balik penjara. Bermalam barang sehari-dua, namun ide-ide itu tak membuatku mampu melihat persoalan yang sebenarnya.

Masih kuingat, dengan kepolosan anak pinggiran kota memasuki kampus dan melihat satu simbol yang identik dan dominan dibeberapa kalangan mahasiswa yang kutemui. “Itu lambang apa seperti daun singkong? Lalu gambar siapa itu?” belakangan aku mengetahui apa yang selama ini selalu kupertanyakan, lambang rasta, warna-warni rasta dan seseorang yang bernama Che Guavara. Ketika itu aku telah mulai bersentuhan dengan kehidupan malam yang diisi dengan rapat-rapat koordinasi berbagai kegiatan gerakan.

Menjadi mahasiswa membuatku memiliki identitas, yang sesungguhnya juga tak kukenali. Kemudian aku berkembang dengan kontaminasi yang akut dari ideologi yang kuperjuangkan selama aktif sebagai pengurus organisasi, yaitu penolakanku untuk terlibat dalam segala bentuk pengrusakan lingkungan.

Aku menghindari peluang pekerjaan-pekerjaan di sektor pertambangan dan perkebunan sawit. Sekalipun, Ayah menyekolahkan aku dan adik-adikku dengan bekerja di perusahaan kayu lapis dan pertambangan. Bahkan, ada support dana dari beberapa senior organisasi yang juga membuka lahan tambang. Kami memang terpecah tak kasat mata, dimana kami berjuang menolak pertambangan yang semakin meluas tak lagi bijak terhadap alam dan lingkungan, diantaranya pula beberapa dari kami justru terjun menentang dalam diam. Idealisme yang awalnya mengalir deras entah bagaimana menjadi aliran-aliran beku dan hilang begitu saja.

Namun, ada satu ikatan yang membuat kami tak saling menuding, yaitu persaudaraan tanpa syarat.

Ironi?

Ironi menjadi sebuah kiasan antitesis yang khusus hadir dalam setiap kehidupan, kita tak perlu kompromistis, terus saja berlawan namun berjalan beriringan. Aku menyadarinya di sepanjang kehidupan yang kulalui, saat aku berkubang di dalamnya atau ketika hanya berperan mengamati, ironi menjadi semacam benturan yang tak terhindari.

Lantas apakah hidup memang penuh ironi?

Kadang akupun berpikir, sikap realistis pun menjadi sebuah ironi yang lain. Elemen yang sama dalam sebuah ruang, namun tentu saja bukan menjadi satu kesatuan pasangan yang menciptakan realitas atau identitas. Kita hanya perlu bergejolak, ketika nurani kita tersentak, disitulah kemampuan melihat ironi sebagai genderang perang tersingkap. Menghadirkannya untuk menantang diri sendiri.

Ah, aku justru sepakat jika ironi sangatlah kontradiktif ketimbang hanya menjadi sebuah antitesis. Bukan sekedar kiasan, namun begitulah, semua menjadi unsur-unsur yang membuat kehidupan terasa ada dan nyata.

Bagiku, idealisme kami semasa kuliah seperti sebuah paradoks disaat semua orang butuh pengakuan dan keakuan. Akupun, tidak benar-benar menjadi seperti apa yang kugaung-gaungkan, aku hanya melewatinya sebagai sebuah proses masa muda menuju kehidupan selanjutnya yang entahlah.

Kemudian Dipo Ariangga menghampiriku dengan segala mimpi-mimpinya tentang perdamaian dalam setiap sendi-sendi kehidupan, mulanya kami menemukan dunia yang sama, buku-buku dan diskusi panjang yang selalu menarik hingga akhirnya menjadi candu untuk kami selalu bertemu dan bertemu. Bukannya kami tak pernah mengantisipasi bahwa dunia kami yang bersisian bahkan beririsan justru akan bergesekan menimbulkan friksi, aku tahu Dipo cukup moderat dan ia pun mengerti bahwa aku sepertinya tak pernah benar-benar satu dengan apa yang orang lihat tentangku, oh aku hanya ikut-ikutan. Aku sadar label itu melekat padaku, bahkan kukira juga begitu.
*
Hujan sedari pagi kian menderas, ruas-ruas jalan begitu basah. Air hujan mengaliri dataran yang menurun dan terdengar riuh aliran selokan di bawah-bawah jalanan utama. Tak tampak payung-payung atau satupun kendaraan yang melintas, kopi hitam yang kusesap lekas menjadi dingin oleh lamunanku yang melayang di langit yang memutih.

Aku teringat nyonya Melinda pernah bercerita padaku, pernah suatu ketika di musim salju yang dingin, seorang gadis cantik berasal dari London tinggal di rumahnya beberapa malam. Kala itu Hallstatt yang diselimuti salju memutih seperti negeri dalam dongeng animasi Walt Disney, gadis itu datang sendiri bukan untuk berlibur, ia mengatakan sedang lari dari segala persoalan yang membuatnya sempat mengalami depresi berat, nyonya Melinda tak keberatan ia tinggal lebih lama di rumahnya. Namun setelah beberapa hari ia memutuskan kembali ke London, pagi itu sang gadis lebih bersemangat dan tersenyum, “nyonya, aku harus kembali dan menyelesaikan semua persoalan ini. Keheninganku disini memberi sedikit jarak yang membuatku memahami satu hal, semesta telah memilihku untuk terlibat dalam hal yang paling kuhindari.” Sang gadis mengecup kedua pipi nyonya Melinda di tepi danau, dingin yang menusuk membuat pipi mereka bersemu.

Salzburg yang basah, hujan itupun seperti jatuh dalam cangkirku. Apa yang harus kulakukan? Tanya itu mengambang memenuhi kota ini, bergema pada gedung-gedung tuanya, berusaha menjelma dalam tangga nada yang pernah diciptakan oleh Mozart.

Hm, hidup ini adalah kumpulan waktu dan peristiwa yang akan terjadi seperti yang seharusnya terjadi. Mungkin aku tak perlu sembunyi. Aku adalah realitas dan yang kualami hanyalah sebuah ironi. Toh danau tenang sekalipun pernah bergejolak pada suatu masa, lalu kembali tenang sesuai urutan waktu.

 “Jangan ragu.” Nyonya Melinda berbisik padaku kali terakhir aku bertemu dengannya, sore itu. Ia tersenyum padaku, dan aku terpaku menatapnya. Tanpa kusadari ia telah menjauh meninggalkan dermaga.


*)source image by canva design.
May 14, 2019

Hannaya #ceritaempat

by , in

Aku berkemas, lima belas menit lagi nyonya Melinda akan mengingatkanku untuk segera menyeberangi Hallstatter See. Kusempatkan membuka laptop dan mengecek email, tak ada email masuk yang berarti. Tak ada email yang kutunggu-tunggu selama satu bulan ini, aku menghela nafas kembali gundah. Akupun segera beralih membuka salah satu website, berharap menemukan apa yang kucari, dan, benar saja. Namaku tidak tercantum dalam daftar nama penulis terpilih pada sebuah ajang internasional yang pernah ku ikuti. Pemberitahuan itu baru saja diposting, dan nama-nama penulis muda yang mulai mengenalkan karyanya, mereka mampu menggeser namaku. Kegundahan itu membuat sekujur tubuhku melemah, kelesuan terbit begitu saja.

Kabut turun selepas gerimis membersihkan udara, angsa-angsa kembali riuh berenang menjelang sore. Alunan nada Mozart, dan perapian yang meredup. Kutatap sebentar tebing tinggi yang kokoh, tampak samar oleh kabut. Desa ini seperti terjebak, begitu terpencil bak dongeng tua dengan para penambang garam di dalam gunung-gunung besar.

Jika tempat ini tak jua membuat darahku kembali mengalir, mungkin aku tak butuh ketenangan itu. Sejauh apa aku menepi, mungkin jurang kelam itu bersarang dalam dadaku, jadi tak ada guna beribu-ribu keindahan dan keselarasan yang coba kureguk.

Kulangkahkan kakiku dengan berat, nyonya Melinda sudah menunggu. Entah kemana setelah ini, aku masih seperti mengambang, kekecewaan tadi melengkapi kekosongan ini.


*)source image: canva&pinterest

May 13, 2019

Framing

by , in

Aku melompat turun dari tembok dengan gusar, “woi! siapa disana!” teriakan itu terasa sangat dekat, memicuku untuk berlari secepat mungkin menerabas semak-semak menuju jalan raya. Dalam keremangan malam disinari cahaya bulan separuh di langit yang pekat, detak jantung berdegup kencang mengiringi setiap lompatanku ketika melewati bebatuan di jalan setapak, beruntung aku tidak tersandung. Di balik sebuah pohon yang cukup besar untuk menutupi tubuhku, aku berhenti sejenak mengatur sedikit pernafasan dan memejamkan mata, karena malam semakin pekat aku harus mengatur cahaya yang bisa masuk dalam penglihatan manusia. Ini semacam orientasi untuk kornea mata, dari tempat yang cukup terang kemudian memasuki kegelapan. 
Gedung yang menjadi kantor Berita Indonesia itu sudah tampak sepi, namun pada satu ruangan terlihat cahaya yang terang. Aku memasuki beranda gedung dan menyapa sebentar pak Dullah yang ketika itu sedang berjaga, ia mengatakan Handry masih bekerja di mejanya. Kulirik arloji di tangan kiri yang sudah menunjukan pukul 22.03, apa yang sedang dikerjakan jurnalis slenge’an itu, apakah ia sedang mengejar deadline? Tapi setahuku ia tidak suka bergadang di kantor. Ah, sudahlah! Aku berlari kecil menaiki tangga menuju ruang kerjaku. Dengan nafas yang masih sedikit terengah-engah dan kekhawatiran yang tersisa, tersadar olehku tindakan tadi cukup konyol. Lalu tiba-tiba saja Handry sudah menarik lenganku ketika memasuki pintu ruangan, “hei, apaan sih!” aku melepaskan cengkeramannya setelah tiba di depan meja kerja kami. “Baca nih,” ia memutar arah monitornya menghadapku. Dan aku membaca satu artikel pendek yang membuat jantungku kembali melaju, “Bowo diserang orang-orang bertopeng selepas Isya tadi? Kamu turun meliput Han?” berondongku sekenanya. “Lha itu artikelku yang barusan aku post di website Berita Indonesia,” aku hanya menatapnya dengan nanar. Aku tidak menyangka bahwa kebenaran dari analisa kami terjadi begitu cepat. 

Bowo Pranowo adalah seorang ahli hukum dan aktivis Hak Asasi Manusia yang sangat vokal dan berani, beberapa kasus berhasil ia ungkap dan menyeret beberapa petinggi Negeri ini. Itu membuat pekerjaannya semakin berbahaya, ia kerap diteror dengan berbagai cara namun baru kali ini langsung melukai secara fisik. Bahkan terakhir kali wawancara Handry bersama Bowo Pranowo, ia dengan terang-terangan menceritakan peringatan halus dari seorang perwira kepolisian yang sesungguhnya mengandung ancaman. Dan dalam beberapa tahun terakhir, sosok dan sepak terjangnya menjadi pembicaraan khalayak luas. Bowo menurutku lebih terkesan menantang bahaya. Aku bergidik mengingat setiap aksi demonstrasi dan caranya menyampaikan kritikan pada pemerintah. dimanapun ada kesempatan di hadapan publik, sangat berapi-api dan tak terbantahkan. Seminggu yang lalu aku bersama rekan-rekan jurnalis sempat berbincang, ketika Bowo muncul di laman website utama untuk kasus-kasus HAM tingkat berat di dunia. Ia mengatakan akan segera membeberkan beberapa bukti yang mendekati terungkapnya kasus pembunuhan Bayu Anggara. “Gak lama nih bang Bowo bakalan dimangsa habis-habisan” komentarku memecah ketegangan kami setelah menyimak artikel utama tersebut. “ini nih! yang Rakyat Indonesia butuhkan Dre, yang gak takut berbicara pada seluruh dunia walaupun selalu diteror dan diancam,” Handry menimpali dengan antusias. “Kita lihat saja nanti. Saya sebetulnya takut, setiap kali menyaksikan tindakannya yang terlalu nekad. ” Gading menambahkan dan kemudian memandangi kami bergantian, lalu pergi. 

Gading sempat bertugas meliput seputar kasus Bayu Anggara beberapa tahun pertama, sebelum akhirnya ia beralih profesi sebagai jurnalis foto. Gading pernah bicara padaku, bahwa kasus Bayu Anggara adalah kasus para Jenderal, tidak mudah diselesaikan walaupun bukti-bukti yang terungkap sudah mengarah. Munculnya orang yang dituding sebagai pelaku dan kemudian ditindak pidana hanyalah trik mengelabui publik. Seolah-olah kasus itu telah selesai dan masyarakat Indonesia menjadi lupa. Bukan waktu yang sebentar, lima belas tahun yang lalu Bayu Anggara terbunuh dalam perjalanan menghadiri konferensi Dunia untuk membahas kasus-kasus pelanggaran HAM di Negara-negara berkembang. Dan ketika Ariadi memintaku untuk mengikuti perkembangan kasus ini, meliput apa saja yang berkaitan bahkan sekecil apapun hal tersebut, aku langsung menyambutnya dengan senang hati. Wajar saja beliau memiliki perhatian khusus terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia, karena beliau adalah sahabat dekat Bayu Anggara, dan pada masa orde baru kantor berita ini sempat dibredel. 

“Mbak, tadi malam saya melihat langsung pak Putra Wicaksono bertemu dengan Bambang Prabu. Entah apa yang mereka bicarakan, tetapi mereka memilih tempat yang sangat tertutup?” aku berbicara lebih pelan dan mencondongkan tubuhku mendekati posisi duduk mbak Wuria, iapun mendengarkan dengan hati-hati. 

“Bagaimana kamu bisa mengikuti mereka Dre?” aku terdiam sebelum menjawab pertanyaannya, ingatanku melayang pada malam itu. Selepas magrib aku pulang dari kantor dan ada rencana makan malam di rumah istri mendiang Bayu Anggara, perjalanan menempuh sekitar 10 menit dengan mengendarai sepeda motor, namun pada jarak 100 meter sebelum aku tiba, tampak beberapa mobil terparkir di sisi jalan. Tempat itu sangat sepi dan gelap. 

“Beruntung kamu berhasil lolos Dre, kalau tidak kamu bisa didor” seloroh mbk Wuria masih dengan suara pelan. 

“Memangnya jaman orde baru mbak.” Aku menghela nafas agak ngeri juga. 

Tiba-tiba percakapan kami terhenti karena kedatangan Handry Atmaja, dari wajah teman sekantorku itu tampak amat sangat kusut. “Andrea Endian dan Wuria Asary, ada apa kalian memanggil saya kemari?” suaranya yang tengil memaksakan diri untuk tersenyum. “Ada yang perlu kita bahas Han,” sahut mbak Wuria datar. Aku tahu Handry sejak tadi malam sangat sibuk dengan liputan kasus terbaru Bowo Pranowo, tetapi karena itulah kami perlu membicarakannya. 

“Jadi, kalian merasa dua orang pejabat penting itu ada di balik kasus Bowo Pranowo?” sergah Handry sebelum sempat aku menyelesaikan cerita yang tadi kusampaikan pada mbak Wuria. 

“Tepat sekali! Karena rentang waktunya cukup dekat dan jenderal yang satu ini seringkali muncul dalam tulisan Andrea terkait kasus Bayu Anggara.” Pungkas Wuria. 

Kami bertiga saling pandang. Sebagaimana kami sama-sama mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Dan kepada siapa seharusnya kami mengarahkan kecurigaan. Selang beberapa menit keterdiaman kami, handphone Handry bergetar, ia meraihnya dari saku jaket. Sementara aku masih hanyut dalam analisa yang rumit dikepalaku, tanpa perduli ekspresi Handry yang tiba-tiba saja berubah. Kemudian ia berdiri dengan tergesa dan meraih ranselnya, “Dre, kita ketemu di rumah sakit pusat ya, Bowo Pranowo ditemukan tewas tanpa jejak pelaku sedikitpun” aku dan mbak Wuria belum sempat berkata sepatah kata apapun ketika sosok Handry sudah menjauh dari pandangan kami. Kepalaku mendadak berdenyut, kejadian dalam 24 jam ini terjadi seperti tokoh superhero flash yang berlari kencang. 
** 
Sore itu aku menemui Handry di teras rumahnya, “Han,” sapaku singkat dan ia menyilakanku duduk. “Dre, saya mundur dari Berita Indonesia” Aku sudah mengetahui hal ini, secara singkat, Ariadi menjelaskan duduk persoalan itu sebelum aku menemuinya. Aku diam memandangi kaki meja, pikiranku menebak-nebak apa yang membuat jurnalis bandel ini melakukan hal yang tak pernah sama sekali kami singgung. Ia bukan orang yang mudah menyerah.

“Ke…” 

“Pak Ariadi meminta saya berhenti Dre,” Handry memotong kalimatku yang belum selesai dengan suara serak. Matanya berkaca-kaca. 

Kuamati seluruh reaksi tubuh itu, Handry dalam keadaan shock. Aku terkejut mendengar itu, “kenapa?” semakin tajam kutatap kedua bola matanya. 

“Pembunuhan Bowo Pranowo menjadi sangat rumit. Jika saya meneruskan semua liputan dan melaporkan segala bentuk investigasinya, imbas selanjutnya akan mengancam saya dan kantor berita kita.” 

“Apa yang sebetulnya kamu ketahui?” 

“Itu yang dikatakan pak Ariadi Dre, bukan alasan saya.” 

“Apakah kamu sudah semakin dekat dengan bukti-bukti pembunuhan?” aku mencoba menganalisa. 

“Ya.” Jawabnya singkat dan gugup. 

Mendadak ia terisak membuat tubuh itu bergetar menahan tangisan yang lebih keras. Aku mendekatinya, kuraih segelas air putih di meja dan kusodorkan padanya. 

“Tenang Hen, aku yang akan meneruskan liputan ini. Mungkin aku bukan wartawan yang berbahaya sepertimu, akan mencurigakan jika tiba-tiba berita Bowo Pranowo mendadak kita stop.” 

Mendadak aku paham, mengapa Ariadi memilihku menggantikan Handry. Kukira selama ini masih pada batas kewajaran, setiap kali wawancara dan tulisanku yang dimuat mengkuti arahannya. Ariadi Wicaksono. Kepala Redaksi Berita Indonesia. Memang mulanya aku keberatan, tapi kukira alasan Ariadi ada benarnya. Untuk mengikuti kasus Bayu Anggara kita harus tampak bersahabat dengan semua pihak, kasus ini harus tetap ditulis namun terkontrol. Begitu selalu Ariadi mengingatkanku. 

“Aku mencemaskan sesuatu yang buruk bisa saja terjadi. Dre. yang kutemukan adalah dua korelasi fakta, antara kasus Bowo dan Bayu.” Ia menyeka sisa-sisa air matanya dan meneguk air putih yang tadi kusodorkan. 

“Ariadi sengaja memancingmu masuk ke dalam kasus ini, dengan begitu ia lebih mudah menutup dua kasus sekaligus dan menekan efek negatif seminim mungkin terhadap Berita Indonesia. Kemudian ia menyingkirkan kamu sama seperti saya, ketika sudah tidak layak lagi untuk dipelihara.” 

Ia meneruskan perkataannya dengan pandangan yang kosong dan nada suara yang sinis. 

“Tentu saja, karena ia masih berpikir saat ini lebih bisa mengendalikan saya ketimbang kamu.” 

Kami berbarengan memandangi pohon mangga yang sedang berbunga, ada kegeraman yang sama. 
*** 
Malam itu Wuria menungguku dikantornya, ada yang ingin ia sampaikan dan kebetulan pula aku ingin bertemu dengannya. Ia adalah sekjen salah satu organisasi penting yang selalu berdiri bersama korban-korban tindak pelanggaran HAM di Indonesia. 

“Dre, kecurigaan kami spesifik mengarah kepada Bambang Prabu sebagai dalang dibalik pembunuhan Bowo.” Ia berbicara sangat pelan setengah berbisik, pikiranku mendadak semakin berkecamuk saja. 

“Bagaimana mbak Wuria bisa yakin?” ia lalu menunjukan secarik kertas yang sudah diremas-remas. Ada beberapa nama yang tertulis di sana dan aktivitas rutin Bowo Pranowo, yang mencurigakan adalah kronologi singkat perjalanan Bowo dari sebuah acara yang ia hadiri sesaat sebelum kejadian penyerangan terhadapnya, pada kertas itu juga dituliskan alat penyerangan dan habisi saja. Jantungku seakan berhenti berdetak ketika selesai membaca secarik kertas tersebut. 

“Dimana mbak menemukan secarik kertas ini?” Tanyaku setelah bisa menguasai diri kembali. Wuria lalu menceritakan bahwa kertas itu diberikan oleh istri Bowo ketika mereka melayat tadi siang, itu ia temukan disaku celana suaminya. 

“Tapi ini tidak membuktikan apa-apa tentang keterlibatan Bambang Prabu mbak,” Wuria menarik tubuhnya dan bersandar pada tembok. 

“Inisial itu ditulis dengan sangat khas Dre, saya bahkan memiliki testimoni yang pernah ditulis tangan oleh Bambang Prabu ketika perayaan ulang tahun organisasi ini. Sangat mirip. 

“Lalu apa yang bisa kita lakukan dengan bukti yang tidak lengkap ini?” sahutku dingin, aku mulai merasa tertekan. 

“Mbak, Bambang Prabu itu adalah perwira tinggi Kepolisian yang sangat dekat dengan orang-orang kepercayaan Presiden, mbak ingin saya menulis ini?” dan aku menjadi gusar. 

”Entahlah! apa yang terjadi pada kalian? Handry pun menolak untuk membicarakan hal ini.


” Wuria mulai tampak kesal dan menatapku penuh selidik. Aku tidak perduli. “Handry sudah mengundurkan diri dari Berita Indonesia.” Ia membelalakan matanya dan berdiri tegak dihadapanku, “kalian menyembunyikan sesuatu?” kali ini aku terlihat menghindar dan Wuria tajam menangkap hal itu. 

“Hei! coba kalian berdua baca ini.” Seorang anggota organisasi lainnya tiba-tiba mendekati mereka, Azhar setengah berteriak lalu memperlihatkan layar tablet-nya kepada kami berdua, salah satu judul berita yang muncul di laman utama google chrome menuliskan; Handry Atmaja Gantung Diri Setelah Ditemui Oleh Andrea Endian, Keduanya Merupakan Wartawan Yang Dipecat Karena Diduga Menutupi Bukti-bukti Kematian Bowo Pranowo. 
****



*)source image by google, pinterest
May 07, 2019

Hannaya #ceritatiga

by , in

Air seperti ditumpahkan dari langit, kudengar suara gaduh menimpa atap rumah, diiringi angin bertiup menyusupkan udara yang semakin dingin. Kata pemilik kamar ini, ia sedang memperbaiki pemanas ruangannya, “silahkan saja nona duduk di depan perapian sembari menikmati seduhan kopi,” wanita yang sangat ramah, ia menyediakan selimut tebal dan segelas kopi di atas meja kecil.

Aku sengaja tidak menginap di hotel yang bagus di desa ini, aku ingin benar-benar merasakan kehidupan sehari-harinya. Dan pilihanku berjodoh dengan rumah wanita ini.  Di rumahnya hanya memiliki satu kamar yang bisa disewa, walaupun rumahnya sangat sederhana untuk ukuran disini, tapi bagiku ini sungguh menyenangkan. Nyoya Melinda, ia juga memiliki sebuah kafe kecil di depan rumah, tak banyak yang datang, karena yang biasanya datang adalah orang-orang dari jauh yang mencari ketenangan.

Mencari ketenangan, barangkali akupun demikian. Sejauh ini. Membiarkan rintik-rintik hujan yang membuat kaca jendela kamarku berkabut. Teh hangat dengan kepulan asap tipis di meja makan, ibu tak pernah alpa menyediakan seteko teh—yang berasal dari lereng-lereng perbukitan dengan wangi melati—dan sepiring pisang goreng. Apakah disana aku tak menemukan ketenangan, atau aku sedang berada ketika ketenangan justru menjadi kenangan yang mengusik? Aku tak akan lupa sorot lembut tatapan ibuku, kelakar ayah dan keriuhan adik-adikku, serta keponakanku yang cerdas dan lucu. Semua itu membuatku terlalu nyaman, datang menjadi inspirasi di tiap hariku. Namun, inspirasi itu menjeratku dalam sebuah ketenangan yang pada akhirnya berubah menjadi gangguan khusus untukku. Ketenangan dan kenangan, kenyamanan dan keterusikan, mestinya adalah suatu keseimbangan. Lantas aku menyadari bahwa aku butuh gejolak, aku butuh dinamika yang tidak dinamis, hujan badai yang menghanyutkan beribu harapan untuk tumbuh melaju disuatu hari depan.

Ya, perjalanan ini sangat melelahkan. Namun, aku belum tiba pada pencarian yang kukira. Blockwriter yang akut. Mereka bilang begitu, sahabat-sahabatku seringkali mengingatkanku, mereka memberi banyak masukan dan support yang akan selalu kukenang dikemudian hari. Tetapi, saat ini yang kuinginkan bukanlah kutub positif dimana akan membuatku terprogram untuk berpikir bahwa semua senantiasa baik-baik saja. Atau aku menginginkan pula kutub negatif untuk membuat lingkaran medan magnetik yang mampu menarikku dalam pusaran itu sehingga kembali berdenyut. Tidak. Harusnya ada kutub alternatif, dimana persoalan bukan hanya soal hitam dan putih, dan mengabaikan batas abu-abu. Bahwa suatu ledakan serta gebrakan tidak hanya akan membawa kerusakan atau ketimpangan.

Entahlah, aku tak bisa menjelaskan dengan baik apa yang ada di kepalaku. Apakah suara-suara ini yang kerapkali memanggil-manggil Virginia Woolf? Atau sebuah kesadaran yang menguasai Mary Shelley…

Ah, aku tiba-tiba merasa begitu sepi.

Kudengar derap langkah yang perlahan mendekatiku, aku tak ingin menoleh atau mengetahui sedikitpun siapa yang akan datang. Perapian telah padam, ada berkas sinar menyusup dari balik tirai putih yang tipis. Udara dingin menyergap, kurapatkan selimut tebal yang masih menutupi tubuhku.

“Nona…?”
“Ya, madam?”
“Apakah anda akan berkeliling pagi ini? Di luar sedang turun hujan gerimis, anda bisa menggunakan payung di depan kafe.”
“Ide yang menarik,”
“Begitulah, disini hujan gerimis tak pernah menjadi hujan yang lebih deras. Jadi suasana danau pasti lebih indah nona.”

Kemudian, nyonya Melinda meletakkan nampan kayu berukir yang berisi secangkir kopi dan donat kentang. Kini aku sudah benar-benar memperhatikannya, oleh karena aroma kopi yang begitu khas. Membuatku rindu pada Indonesia.


Aku melangkah menuju jendela yang tak cukup besar, kusibak tirainya, kaca jendela yang berembun, dan kulihat angsa-angsa yang menyambut pagi tanpa gundah. Benakku mengajukan tanya, “mungkinkah ini sebuah pelarian yang tak sanggup aku terjemahkan?”



*)source image: canva & pinterest

May 06, 2019

Buka Puasa Pertama Bareng Suami

by , in

Alhamdulillah, kita sudah memasuki hari pertama bulan ramadhan. Puasa hari pertama ini saya sudah bareng suami, dan tentu saja banyak hal yang berbeda. Dari suasana, persiapan, dan hal-hal yang berkenaan dengan target-target ibadah selama bulan ramadhan. Yang dulunya sendiri dan lebih cuek, sekarang jadi lebih dimanage lagi tiap-tiap kegiatan dan waktunya.

Apalagi saya berkerja dari pukul tujuh pagi hingga pukul empat sore. Sehingga semua kegiatan dari sahur, ibadah wajib dan sunnah, buka puasa, tarawih, beres-beres rumah dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang sudah menjadi agenda rutin, bahkan persiapan menu apa yang akan dimasak ketika sahur. Itu semua harus diatur sedemikian rapi agar tidak keteteran.

Nah, di hari pertama ini saya gak mau membuat perut saya dan suami mengalami sock setelah hampir kurang lebih 12 jam berpuasa dengan segala aktivitas yang tidak berkurang, justru rasanya ada deadline tambahan nih.

Untuk itu, saya berusaha memilih menu makanan yang mengandung nutrisi penting untuk tubuh. Seperti protein, karbohidrat, serat, lemak, vitamin dan mineral.

Dari makanan ringan pembuka dan minuman, sampai makanan berat. Sebisanya pula mengurangi jenis-jenis makanan yang terlalu banyak minyak seperti jajanan atau lauk yang serba digoreng, dan juga jangan yang terlalu mengandung banyak gula.

Tampaknya rumit ya? Sebetulnya, jika sudah terbiasa dengan menu-menu sehat, hal ini tidak akan menjadi catatan with underlying. Atau bagi kita yang terbiasa berpuasa sunnah, tentunya menyiapkan menu makanan untuk sahur dan berbuka bukanlah perkara yang merepotkan. Tapi, bulan ramadhan menjadi bulan yang khusus dan istimewa, semua terasa menjadi semarak, pun soal serba-serbi makanan. Coba deh tengok ke pasar ramadhan, penuh warna dan macam rupa yang menggugah selera, rasa-rasanya banyak dari jenis makanan dan minuman tersebut tidak saya kenali dan biasanya dari tahun ke tahun variannya selalu bertambah.

Namun, kita harus tetap konsisten menjaga kondisi tubuh saat bulan ramadhan, terutama asupan ketika sahur dan berbuka puasa. Agar ibadah-ibadah yang lainnya juga tidak terganggu dan rutinitas harian pun dapat berjalan seperti biasa.

Jadi, wajib mengonsumsi makanan yang mengandung serat untuk mengembalikan energi tubuh, seperti kurma yang masih segar atau kurma yang kulitnya masih tebal. Bisa juga dengan sop buah dan pemanis madu, salad buah, atau agar-agar.



Makanlah lauk-lauk seperti telur, ikan, dan ayam yang dipanggang atau direbus, tumis sayur-sayuran dan sayur bening. Atau mau mencoba kentang, roti gandum dan beras merah? Sesuaikan saja dengan selera. Tapi, varian sayur bisa dimacem-macemin kok, tinggal search menunya heheh.

Hindari makan gorengan, pilih saja jajanan Indonesia lainnya yang tidak mengandung minyak, seperti klepon dan kue-kue basah yang lezat. Perbanyak minum air putih karena cairan yang keluar selama berpuasa sama saja dengan ketika tidak sedang berpuasa loh. Dan jangan dibuka dengan minuman ber-kafein, bisa menyebabkan asam lambung dan dehidrasi.

Penting diingat ketika berbuka, yaitu makanlah dengan perlahan dan secukupnya. Hal ini untuk menghindari sock pada perut yang pada akhirnya menghambat kita untuk melanjutkan ibadah.

Dan entah mengapa, suami saya membuat saya menjadi sedetail ini. Padahal dia orangnya gak cerewet soal makanan atau dalam hal apapun. :)



*)source image: canva dan google