THOUGHT&BOOK

Hannaya #ceritadua


Hallstatt pada pagi hari, musim gugur membawa aroma basah yang menyejukkan. Kabut tipis mengambang pada lereng-lereng bukit batu yang putih kehijauan, sebagian puncak lainnya ditutupi oleh kabut yang menggumpal seperti kapas-kapas lembut. Kabut ketinggian selalu saja sama, semerbak kerinduan meruap kenangan dan kesan pada sudut-sudut hatiku. Ketika rumput-rumput menjadi basah, tetesan embun yang mengkristal. Kurapatkan dekap pada tubuhku sendiri, dingin yang tak biasa di kejauhan.

Barangkali Ranukumbolo, dimana aku mengenal candu yang akhirnya selalu membawaku pada kabut pagi yang hening. Tanah-tanah tinggi dalam kisah pendaki. Kukerjap-kerjapkan kedua mata, lelah semalam masih tersisa. Perjalanan dari Wina tak pupus hingga setibaku di Salzburg. Aku tak sempat meninggalkan pesan untuk Dipo ketika itu, langkah sudah terburu mengikuti hentakan kata-hatiku kemari, pertemuan singkat yang tak jua memberiku pesan. 

Ah, sudahlah. Kurasa sudah tak ada lagi yang tertinggal. Aku dan Dipo, dua orang yang lebih sibuk pada diri sendiri, seringkali kita tak kunjung selesai pada antusiasme pribadi, mungkin begitulah sebuah pencarian. Entahlah, tampaknya kami kerap membuat hal menjadi begitu pelik,  jika benar diantara sepasang kekasih hanya ada seorang yang cukup jenius, dan seorang lainnya pun menjadi sesuatu yang berbeda. Lalu bagaimana jika kami berdua mengalami kegairahan yang sama. Kukira, akupun cukup jenius.

Anganku sesaat menghampiri hari-hari yang telah lalu, dimana kami menjadi dua sahabat yang berbeda tetapi tampak serupa. Seirama dan beriringan.


“Jika segala amarah dapat menjelma sesuatu yang lebih baik, bagaimana gagasan untuk hal itu Han?”

Dipo tahu-tahu sudah di hadapanku dengan setumpuk buku, ia kemudian duduk dengan wajah serius sembari membetulkan letak kaca-mata minus yang terlihat serasi dengan hidungnya yang menjulang sempurna.

“Frankeinsten.”

Jawabku pendek. Aku tidak terpengaruh dengan kemunculannya, tak heran jika ia begitu mudah ditemukan di perpustakaan.

“Mary Shelley ya…” Aku diam saja, bacaan yang kutekuni ketika itu lebih menarik.

Aku menghindari komunitas di kampus akhir-akhir ini, berbagai isu krisis lingkungan membuat kami berkerja hingga larut dan melalaikan tugas kuliah. Tak masalah bagiku, aku hanya mengambil jeda mencoba kembali mengeja peristiwa demi peristiwa. Dan aku di sini, perpustakaan tempatku bersembunyi dari gegap gempita demonstrasi, adu argumen dalam rapat-rapat koordinasi yang membuatku jemu.

"Han, kamu mau ngapain setelah lulus kuliah?" Rupa-rupanya Dipo masih berusaha mengajakku berbincang, entahlah, padahal ia paling berkeras bahwa kegiatan membaca buku tak ubahnya menyerupai suatu pertapaan. Namun, kuladeni saja ia, "menulis, seperti sekarang."

"Keliling dunia yuk! Kamu nulis, dan aku akan mencatat setiap detail kebudayaan dimanapun tempat yang kita singgahi." Suara riangnya sedikit lebih bertenaga sehingga membuat beberapa pasang mata memperhatikan kami.

Aku masih mengingat saat itu dengan jelas, dan tak kukira disanalah persimpangan jalan kami bermula.

Abaikan saja yang telah berlalu, kataku. Kulanjutkan langkah menyusuri gang-gang sempit yang diapit tembok-tembok rumah penuh warna. Ada beberapa kafe yang telah dibuka, toko-toko suvenir, dan kesegaran di teras-teras bangunan yang bergaya baroque itu.

Konon, Hallstatt menjadi desa favorit sekawanan peri-peri cantik pada masa ratu Cecilia, lalu mereka kini menjelma angsa-angsa yang berkilauan ketika berenang di tengah danau Hallstatter. Bibi bercerita padaku ketika memberi sebuah lukisan kecil yang menggambarkan keindahan rumah-rumah tradisional di lereng bukit-bukit batu, Hallstatt berlatar pengunungan yang memutih.

Begitulah, mimpi-mimpiku mengantarkan impian kecil itu hari ini, di Negeri dongeng yang begitu jauh dari Indonesia.  Dan aku sengaja tidak memilih musim salju, seperti lukisan oleh-oleh bibi. Aku pun ingin bercengkerama bersama kabut pagi, dimanapun yang membuatku berhenti sejenak.

Sekali lagi kuhirup udara pegunungan Alpen, aku mencari diantara keheningan danau yang terperangkap perbukitan, mencium bau garam nun jauh di dalam gunung. Mungkin Mozart pun kala itu pernah terilhami oleh tempat ini. Walau aku tak begitu berambisi, toh berada disini membuatku seperti sebuah cerita fiksi. Dan aku kehilangan kesempatan unutk sebuah festival penerbitan buku berskala Internasional.

Sesaat aku mematung memandangi danau, bukankah sebelum berpisah tempo hari, Dipo mengatakan sesuatu.

"Mary Shelley menemukan inspirasi ketika abu vulkanik letusan gunung Tambora memenuhi atmosfer bumi, ide-idenya berpadu dan melahirkan karya yang orisinal di jamannya."

"Ya?" Aku belum mengerti apa yang ingin Dipo katakan sebetulnya, kami sudah seringkali mendiskusikan Frankenstein. Namun ia tak melanjutkan.

Jika kabut pagi dan tetesan hujan begitu dalam di sanubariku, akankah di tempat yang jauh ini aku bisa memahami apa yang dikatakan Dipo tentang sebuah inspirasi, ya, Dipo bermaksud memberiku motivasi.

Aku tersenyum, pagi di Hallstatt pada musim gugur. Wajah Dipo tersaput kabut di lereng-lereng perbukitan.

**

No comments:

Post a Comment