THOUGHT&BOOK

April 29, 2019

Book&Life: Pentingnya evaluasi pada aktivitas membaca

by , in

Saya terus bertanya, kenapa buku-buku yang selama ini telah saya baca tak menjadi pengaruh apapun (nyaris) bagi saya. Tak ada manfaat yang berarti dari bacaan tersebut yang berdampak ketika saya harus mengambil keputusan berupa sikap, pemikiran, dan tindakan-tindakan semacamnya.

Semestinya kerangka berpikir akan terbentuk secara sistematis dan memiliki pola yang teratur sesuai asupan yang diserap oleh otak, misalnya dengan membaca buku-buku. Dimana informasi-informasi tersebut membentuk jaringan di sekeliling kita, kemudian berkembang menjadi habit yang signifikan.

Dan, saya mencoba sedikit mengevaluasi bagaimana interaksi saya dengan buku dan membaca, apakah saya sudah memiliki bentuk yang dapat dikatakan sebagai intensitas? 

Ah! saya jadi teringat pada sebuah novel dari karya kolaborasi antara Jostein Gaarder dan Klaus Hagerup, Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken :). Dalam buku ini ada cerita tentang salah satu tokohnya; seorang wanita yang menggilai semua hal yang berkaitan dengan buku. Seperti ketika aroma buku terasa melebihi kekuatan aroma terapi kayu manis,  ia mengoleksi segala jenis buku, bahkan berburu buku-buku langka nan klasik. Obsesinya menjadi begitu berlebihan, karena ketertarikannya akan buku bukan hanya sebuah keinginan untuk membaca dan mengoleksi saja, namun ia memiliki ketertarikan yang tidak lazim. Bibliophile. Bibliomania.

Nah, bagaimana jika saya pun ternyata memiliki kesamaan seperti karakter tersebut? salah satu novel yang saya suka banget.  

Jadi kesimpulan saya adalah?

Saya tidak pernah benar-benar memberikan prioritas waktu pada aktivitas membaca, sehingga tidak menjadi semacam rutinitas dan hanya karena waktu luang yang harus diisi. Akibatnya, banyak buku-buku yang tak selesai saya baca dan akhirnya menumpuk karena saya tak pernah berhenti membeli buku baru lagi dan lagi. 

Bahkan hingga memasuki bulan mei sehari lagi, ditahun ini, saya belum menyelesaikan membaca sebuah buku pun. Dan, salah satu distraksi itu adalah smartphone

"Maka dari itu, intensitas membaca terutama pada bacaan-bacaan yang berkualitas akan membawa pengaruh positif yang berdampak baik."

Jadi, ada baiknya sesekali kita koreksi bagaimana aktivitas membaca yang sudah kita lakukan.










April 11, 2019

Hannaya #ceritadua

by , in

Hallstatt pada pagi hari, musim gugur membawa aroma basah yang menyejukkan. Kabut tipis mengambang pada lereng-lereng bukit batu yang putih kehijauan, sebagian puncak lainnya ditutupi oleh kabut yang menggumpal seperti kapas-kapas lembut. Kabut ketinggian selalu saja sama, semerbak kerinduan meruap kenangan dan kesan pada sudut-sudut hatiku. Ketika rumput-rumput menjadi basah, tetesan embun yang mengkristal. Kurapatkan dekap pada tubuhku sendiri, dingin yang tak biasa di kejauhan.

Barangkali Ranukumbolo, dimana aku mengenal candu yang akhirnya selalu membawaku pada kabut pagi yang hening. Tanah-tanah tinggi dalam kisah pendaki. Kukerjap-kerjapkan kedua mata, lelah semalam masih tersisa. Perjalanan dari Wina tak pupus hingga setibaku di Salzburg. Aku tak sempat meninggalkan pesan untuk Dipo ketika itu, langkah sudah terburu mengikuti hentakan kata-hatiku kemari, pertemuan singkat yang tak jua memberiku pesan. 

Ah, sudahlah. Kurasa sudah tak ada lagi yang tertinggal. Aku dan Dipo, dua orang yang lebih sibuk pada diri sendiri, seringkali kita tak kunjung selesai pada antusiasme pribadi, mungkin begitulah sebuah pencarian. Entahlah, tampaknya kami kerap membuat hal menjadi begitu pelik,  jika benar diantara sepasang kekasih hanya ada seorang yang cukup jenius, dan seorang lainnya pun menjadi sesuatu yang berbeda. Lalu bagaimana jika kami berdua mengalami kegairahan yang sama. Kukira, akupun cukup jenius.

Anganku sesaat menghampiri hari-hari yang telah lalu, dimana kami menjadi dua sahabat yang berbeda tetapi tampak serupa. Seirama dan beriringan.


“Jika segala amarah dapat menjelma sesuatu yang lebih baik, bagaimana gagasan untuk hal itu Han?”

Dipo tahu-tahu sudah di hadapanku dengan setumpuk buku, ia kemudian duduk dengan wajah serius sembari membetulkan letak kaca-mata minus yang terlihat serasi dengan hidungnya yang menjulang sempurna.

“Frankeinsten.”

Jawabku pendek. Aku tidak terpengaruh dengan kemunculannya, tak heran jika ia begitu mudah ditemukan di perpustakaan.

“Mary Shelley ya…” Aku diam saja, bacaan yang kutekuni ketika itu lebih menarik.

Aku menghindari komunitas di kampus akhir-akhir ini, berbagai isu krisis lingkungan membuat kami berkerja hingga larut dan melalaikan tugas kuliah. Tak masalah bagiku, aku hanya mengambil jeda mencoba kembali mengeja peristiwa demi peristiwa. Dan aku di sini, perpustakaan tempatku bersembunyi dari gegap gempita demonstrasi, adu argumen dalam rapat-rapat koordinasi yang membuatku jemu.

"Han, kamu mau ngapain setelah lulus kuliah?" Rupa-rupanya Dipo masih berusaha mengajakku berbincang, entahlah, padahal ia paling berkeras bahwa kegiatan membaca buku tak ubahnya menyerupai suatu pertapaan. Namun, kuladeni saja ia, "menulis, seperti sekarang."

"Keliling dunia yuk! Kamu nulis, dan aku akan mencatat setiap detail kebudayaan dimanapun tempat yang kita singgahi." Suara riangnya sedikit lebih bertenaga sehingga membuat beberapa pasang mata memperhatikan kami.

Aku masih mengingat saat itu dengan jelas, dan tak kukira disanalah persimpangan jalan kami bermula.

Abaikan saja yang telah berlalu, kataku. Kulanjutkan langkah menyusuri gang-gang sempit yang diapit tembok-tembok rumah penuh warna. Ada beberapa kafe yang telah dibuka, toko-toko suvenir, dan kesegaran di teras-teras bangunan yang bergaya baroque itu.

Konon, Hallstatt menjadi desa favorit sekawanan peri-peri cantik pada masa ratu Cecilia, lalu mereka kini menjelma angsa-angsa yang berkilauan ketika berenang di tengah danau Hallstatter. Bibi bercerita padaku ketika memberi sebuah lukisan kecil yang menggambarkan keindahan rumah-rumah tradisional di lereng bukit-bukit batu, Hallstatt berlatar pengunungan yang memutih.

Begitulah, mimpi-mimpiku mengantarkan impian kecil itu hari ini, di Negeri dongeng yang begitu jauh dari Indonesia.  Dan aku sengaja tidak memilih musim salju, seperti lukisan oleh-oleh bibi. Aku pun ingin bercengkerama bersama kabut pagi, dimanapun yang membuatku berhenti sejenak.

Sekali lagi kuhirup udara pegunungan Alpen, aku mencari diantara keheningan danau yang terperangkap perbukitan, mencium bau garam nun jauh di dalam gunung. Mungkin Mozart pun kala itu pernah terilhami oleh tempat ini. Walau aku tak begitu berambisi, toh berada disini membuatku seperti sebuah cerita fiksi. Dan aku kehilangan kesempatan unutk sebuah festival penerbitan buku berskala Internasional.

Sesaat aku mematung memandangi danau, bukankah sebelum berpisah tempo hari, Dipo mengatakan sesuatu.

"Mary Shelley menemukan inspirasi ketika abu vulkanik letusan gunung Tambora memenuhi atmosfer bumi, ide-idenya berpadu dan melahirkan karya yang orisinal di jamannya."

"Ya?" Aku belum mengerti apa yang ingin Dipo katakan sebetulnya, kami sudah seringkali mendiskusikan Frankenstein. Namun ia tak melanjutkan.

Jika kabut pagi dan tetesan hujan begitu dalam di sanubariku, akankah di tempat yang jauh ini aku bisa memahami apa yang dikatakan Dipo tentang sebuah inspirasi, ya, Dipo bermaksud memberiku motivasi.

Aku tersenyum, pagi di Hallstatt pada musim gugur. Wajah Dipo tersaput kabut di lereng-lereng perbukitan.

**
April 06, 2019

Hannaya #ceritasatu

by , in

Sudah satu jam aku memandangi saja laptop di hadapanku, kertas kosong di layarnya terbuka menunggui huruf-huruf yang akan tertulis. Aku mencoba mengingat-ingat semua yang kugilai, tentang pagi dan asap yang mengepul di secangkir teh pegunungan nan jauh, tentang bagaimana letihnya napasku disergap kabut belerang ketika menapaki puncak Kerinci, atau ketika mentari terenyuh di pelukan senja merah di tepian sepi kerisauanku. Sungguh pikiranku kusut, apa yang harus kutuliskan padahal tengat waktu yang telah diberikan untukku akan habis masanya, besok siang. Kutarik napas merasa begitu tertekan, lirik lagu telah berganti-ganti mengikuti detak jarum jam dan hembusan angin yang terasa semakin dingin dari jendela kamar yang sedikit terbuka. Malam kian meninggi, lengang mulai menyerap, dan aku masih berdiam diri seperti tadi.
*
Perlahan dengan ragu kudekati meja kosong dekat jendela besar yang menghadap ke jalan raya, pagi itu masih begitu hening dan udara masih terasa bening. Nyaris tak ada kendaraan yang melintas, hanya sepeda para mahasiswa yang dikayuh dengan santai. Pada salah satu bangkunya aku duduk dengan gelisah, di sini gerai kopi dan roti biasa buka begitu pagi, walau tak banyak yang berkunjung namun ini adalah waktu-waktu terbaik menghabiskan hari di sini. Suasana akan kembali terasa sedikit ringan dengan pemandangan yang selalu dramatis terlihat dari jendela kaca yang sangat besar hampir separuh dari ruangan ini. Aku menuggu Dipo Ariangga, kami membuat janji temu sepagi ini sebelum berpisah karena masing-masing dari kami akan meninggalkan kota ini. Aku kembali ke Indonesia dan Dipo meneruskan kampanye penggalangan dana mengelilingi Eropa. Entah kapan ia akan menyusul kembali pula ke Indonesia. Aku tak lagi menuggu, tak lagi setia menunggu.

Tiba-tiba saja gerimis turun dengan anggun, tiga puluh menit telah berlalu, hanya ada satu dua orang di sini, mereka tengah asik dengan aktivitas pagi mereka, gadget dan tumpukan kertas atau buku-buku. Dinginnya cuaca di luar tak jadi soal dengan kehangatan di sini. Aku menjadi resah, Dipo tak kunjung tiba bahkan ia belum membaca whatsapp yang kukirimkan satu jam yang lalu. Apa pria itu lupa? Ah, memang ia terlalu sibuk tahun-tahun terakhir ini. Kesibukan yang sudah ia geluti semenjak masa kuliah, Dipo begitu mencintai setiap detail aktivitasnya dan hampir tak ada yang menandinginya. Bahkan kehadiranku. Tapi, bagiku itu tak pernah menjadi rumit apalagi sampai menjadi masalah dalam hubungan kami. Karena akupun demikian, di mana saat-saat aku harus menyendiri menemukan ide-ide tulisan yang selalu saja mepet dengan tengat waktu. 

Kami adalah sepasang kekasih yang hampir tak pernah berkencan lebih dari setengah jam, aku yang selalu terburu-buru dan ia yang tak pernah fokus selain pada apa yang sedang ia kerjakan. Aku mengenalnya tak begitu dekat, kami hanya terhubung oleh, entahlah... mungkin cinta atau hanya satuan-satuan molekul yang cocok namun tak begitu signifikan. Sebenarnya perpisahan bukanlah pilihannya atau diriku, namun yang tersedia untuk kami hanya sebuah perpisahan tanpa definisi rasa. Sungguh itu terasa lebih berat dari sebuah perpisahan konkrit.

“Hannaya, maaf harus menunggu.” Suara renyah itu membuyarkan pikiranku yang tengah mengembara. Aku sedikit mendongak, memastikan wajahnya masih dapat kukenali. Tak ada yang berubah, wajah itu senantiasa periang. Aku tersenyum dan mengangguk. Ia duduk seraya menyandarkan ransel—yang isinya tampak penuh—dengan hati-hati.

Tuh ransel penuh banget isinya Dip, bawa apaan sih?”

“Biasa, bahan-bahan untuk presentasi kampanye penggalangan dana komunitas saya,” perempuan cantik datang menghampiri kami, ia menanyakan pesanan Dipo dan beralih padaku, apakah akan menambah pesanan lagi. Coklat hangatku tinggal separuh gelas, dua potong donat pun telah kulahap. Aku menggeleng sembari tersenyum tipis. Dipo seperti biasa, kopi espresso dan sepotong roti keju, ia tak banyak bicara pada perempuan asing. Seperlunya saja.

“Oh ya Han, setelah ini kamu langsung kembali ke Indonesia kan ya?”

“Ya,”

“Kamu harus sesegera itu kembali?”

“Tidak juga, tapi kelamaan di sini saya justru gak bisa menulis apa-apa Dip.”

“Yah, begitulah. Itu tantangan ketika kita mengerjakan sebuah karya yang jauh dari sumbernya. Selama ini kan tulisanmu selalu menggambarkan Indonesia dari berbagai sudut.”

“Tetapi saya gak pernah begini, semalaman tadi saya hanya memandangi laptop. Gak tahu harus mengetik susunan kata apa yang bisa dibaca.” 

Tak lama kami saling pandang, aku yang terlebih dahulu mengalihkannya. Aku teringat ketika ia memintaku menuliskan salah satu aktivitasnya ke dalam bentuk cerita fiksi, itu menjadi awal kedekatan kami yang lebih dalam. Ia mengenalku dengan baik, namun aku tidak. Pikiranku teralihkan pada gerimis yang begitu lekas menjadi hujan deras. Aku merindukan kehidupanku yang dulu, ketika tinggal beberapa malam di sebuah pulau terpencil atau di sebuah pedesaan yang masih tertingggal. Di tempat-tempat seperti itulah kepalaku membanjir oleh kata-kata. Kukira, dengan menetap di sini untuk menulis aku bisa melihat sudut-sudut fiksi lainnya.

“Siapa yang menyarankanmu kemari Han?”

“Di sini memang tempat para sastrawan dunia mengalirkan karya-karyanya. Di setiap sudut kota, di setiap rumah-rumah yang hangat oleh perapian.” 

Aku berkata-kata dengan riangnya, pikiranku menyerap setiap buliran hujan di balik kaca jendela. Aku teringat masa-masa kecilku diantara derai hujan, aku kedingin dan basah kuyup namun itu menjadi kegembiraan. Mandi hujan yang selalu membuatku lebih bahagia. Aroma hujan yang selalu saja membuat moodku lebih baik. Seperti aroma rempah-rempah terapi.
Dipo tertawa kecil melihatku, mungkin aku agak sedikit dramatis. Aku memandangnya dengan mata berbinar, seolah menemukan sesuatu. Dipo sudah hapal itu.

“Inspirasi sedang mengalir di benakmu ya?” Pria berkaca mata di hadapanku ini sudah tampak penasaran.

“Sepertinya saya gak jadi balik ke Indonesia sekarang deh Dip.”

“Oh ya?”

“Ya, ada sebuah tempat yang sepertinya harus saya kunjungi deh.”

**









*)image: canva@pinterest :)